Pagi buta saat matahari belum tinggi-tingginya, Bodhol sudah bangun dan sudah melakukan sesuatu yang saya tidak tahu. Ini hari minggu, saya berpikir untuk bangun siang dan malas-malasan. Dasar sial, mentang-mentang dia tidur lebih awal dan bangun lebih pagi, saya jadi tumbal. Cuk!
“ndes, ayo sarapan!”
dia membangunkan saya seperti orang kebakaran jembut. Penyakit orang yang biasa bangun siang lalu tiba-tiba bangun kepagian ialah lapar mendadak seperti itu.
Saya yang masih setengah sadar dan masih ngantuk menjawab pertanyaan itu. Kalau saya tidak menjawab, atau pura-pura tidur, Bodhol pasti akan lebih senang mengganggu saya. Apapun akan dilakukan supaya saya bangun dan memenuhi ajakannya.
“sarapan opo, ndes? Jam semene ki arep sarapan opo?” saya menjawab dengan mata terpejam. Perpaduan kantuk dan berpikir mau makan apa pagi-pagi seperti ini. Saya masih belum ingin makan. Saya ingin tidur sampai siang!
“opo wae, sing enak. Ayo ning ndi yo?” Jancuk, lagi-lagi saya yang harus berpikir sambil tidur hanya untuk menentukan sarapan di mana. Seharusnya dia yang sudah bangun dari tadi yang berpikir dan menentukan sarapan apa dan di mana.
“Sarapan soto wae” saya menjawab dengan mata masih terpejam dan miring menghadap tembok.
“Soto ndi sing enak yo, ndes?” asu! lagi-lagi saya yang harus mikir. Sambil merem, saya mencoba mengakses peta lokasi makanan yang ada di otak milik saya sambil membayangkan soto mana yang enak di saat-saat pagi begini, dan yang pasti dengan harga murah.
“Soto sewu ngarep UMY wae, ndes” saya menjawab dengan mata masih setengah merem. “eh, tapi iki minggu. Kono tutup.” Saya melanjutkan dengan mata yang ¾ terbuka.
“ayo ning ndi?” Bodhol bertanya dengan mendesak. Lalu tiba-tiba saya teringat satu tempat makan soto yang cukup enak bagi lidah saya dan teman-teman.
“Ayo ning soto pak Tur wae” saya menjawab pertanyaan yang mendesak itu. Saya menduga dia sudah benar-benar lapar.
“yo ayo, mangkat saiki!”
“yo sek to ndes... tak raup-raup sek” saya bangkit dan beranjak ke kamar mandi. Kencing dan cuci mata. Membersihkan sisa-sisa mimpi yang mengerak di sudut-sudut mata ini. Aih...
Kami berangkat, melalui kantor kecamatan Gamping, ke arah barat melalui sawah-sawah yang masih hijau. Melewati petak tanah yang tertancap baliho ‘Milik Sultan Ground’. Pagi masih dingin, dan jalanan desa di tengah-tengah persawahan ini masih sepi. Ini hari minggu. Banyak orang yang mungkin bangun siang, atau bangun pagi-pagi dan sudah piknik, bahkan pergi. Kami menyusuri rel kereta api, lalu belok kiri menuju jalan wates yang dekat dengan pool Efisiensi. Kemudian belok kanan ke arah barat menuju jalan wates KM 8.
Pagi-pagi begini soto pak Tur sudah penuh pengunjung. Ada beberapa keluarga yang sudah memenuhi meja-meja di warung sempit itu. Kami kebagian meja agak depan dan mendapat pemandangan yang cukup ‘lumayan’. Saya menjawil kaki Bodhol dan memberikan kode mata agar dia melihat ke sebelah kirinya. Bodhol paham maksud saya.
Saya menunggu komentar darinya dengan jurus cocot bodhol yang ia miliki, saya yakin nanti dia pasti memberi komentar perihal keluarga kecil muda ini. Pasangan suami-istri dengan anak kecil yang masih berumur 2 tahunan.
Setelah menghabiskan soto beserta tetek bengeknya; tempe goreng, sate usus, jeroan, perkedel dan teh panas. Kami pulang tapi tak lupa membayar. Kalau lupa paling dikejar, lebih parah dihajar. Tapi kami tak senekat itu. Cuma mau kenyang saja harus kejar-kejaran. Kalau saat saya menjadi kru bis, memang harus kejar-kejaran kalau mau kenyang. Walaupun masih sebatas peluang untuk kenyang, alias penuh penumpang.
Perjalanan pulang menuju kos adalah kebalikan dari perjalanan kami berangkat. Dari jalan wates KM 8 menuju perempatan dekat pool Efisiensi, belok kiri menuju rel, lalu belok kanan menyusuri sawah-sawah dan petak tanah berbaliho ‘Tanah Milik Sultan Ground’.
Saya menunggu komentar Bodhol perihal pasangan muda dengan anak kecil yang digendong itu. Tak juga keluar dari mulutnya. Saya menunggu komentarnya yang kemepyar, seperti orang mencret yang tainya ambyar. Terpaksa harus saya pancing dan saya yang buka omongan.
“koe mau weruh to, pasangan suami-istri karo anak cilik kae mau?”
“iyo, aku weruh” lalu dia melanjutkan “sing wedok masuk, sing lanang remuk!”
“hahahaha” kami tertawa bersama, menyusuri persawahan yang masih hijau itu.
Tiba-tiba dia memutar balik motor yang kami naiki. Meh ngopo cah iki?
“sek, ndes. Tak niliki kaline. Ono iwake ora.”
Saya teringat kalau ternyata kami memang melewati kali. Melewati jembatan kecil yang dibangun dari susunan bis beton. Sungai kecil yang membelah jalan dan menjadi sumber untuk mengairi sawah-sawah yang kami lewati.
“nek koe pengen ngerti ono iwake opo ora, gampang ndes.” Saya menawarkan solusi untuk rasa penasarannya. Dia memang salah seorang pemancing yang gigih walaupun jarang sekali kailnya dimakan ikan. Biar begitu, hampir setiap bulan dia menyisihkan anggaran untuk jajan pancing.
“lha piye carane?” dia menjawab dengan rasa penasaran.
“koe menengo ning kono, tinggal ndelok hasile wae ngko kepiye. Rasah cocotan!” saya menjawab dengan mantap.
Saya turun ke sungai kecil itu, dan mendekati bibir terowongan bis beton.
“Ndes... kae delok ono iwake ora?”
“ASUUUUUUUUUUU!!!!!!” dia terperanjat melihat saya yang sudah jongkok menghadap mulut terowongan dengan bokong yang selaras dengan arah aliran air dan tai yang sudah berhamburan indah menghiasi jernihnya aliran air sungai kecil itu.
Alam semesta benar-benar indah pagi ini... Cuma kurang teh panas dan ikan goreng!
Sudah menjadi kebiasaan kami, setiap sabtu malam atau akrab
disebut malam minggu, merayakan malam yang menurut orang yang punya pasangan
adalah malam bahagia. Bagi kami, ini malam untuk pesta. Ya, sekedar pesta para
Bujang Lapuk. Pesta kecil-kecilan untuk "surungan" menertawakan diri
sendiri.
Kantor travel tempat kami bekerja berada di tengah-tengah komplek
pasar. Setiap malam minggu tiba, kami pasti berpesta. Jangan punya pikiran kami
akan pesta dengan mabuk-mabukan. Pesta kami lebih sangar dari itu. Pesta
Indomie! Makan kenyang, hati riang.
Karena ini pesta, tentu saja Indomie itu kami masak dengan cara
yang luar binasa spesial dan sedikit agak jahat. Iya, jahat.
Kami bertiga, Saya, Dobox, dan Bodhol merupaan tiga pria dengan
tingkat doyan makan yang mumpuni. Tapi, dari kami bertiga hanya satu orang yang
benar-benar tidak suka makan pedas, yaitu Bodhol.
Sebelum kantor tutup, Dobox sudah berbelanja bahan-bahan pesta.
Indomie goreng original, telur, sayur mayur, dan cabai rawit. Bahan terakhir
ini yang kami gunakan untuk 'kejahatan'.
Sambil membawa beberapa kantung kresek, Dobox melenggang masuk,
khas dengan senyum brengseknya. Kalau melihat senyumnya, saya yakin semua orang
akan terkesima dan gemas ingin memukuli mukanya.
"Heh ndes, aku wis belonjo.” Katanya dari seberang lubang
pintu ruang sebelah.
"Yo, Aku weruh."
Dobox terlihat sibuk membereskan bahan-bahan yang sudah dibelinya
di warung-warung kelontong sekitar kantor. Sementara Bodhol masih sibuk bekerja
dengan komputer di depannya. Membuat laporan penjualan bulanan sekaligus
dengan statistik penjualan tiket tiap-tiap maskapai penerbangan, beserta dengan
insentif sekaligus komisi yang diperoleh perusahaan.
Tapi saya merasakan ada yang aneh di ruangan sebelah, ruangan jasa
fotokopi dan penjualan alat-alat tulis tempat Dobox bekerja. Semacam tak ada
kegiatan, setelah tadi ada suara plastik kresek yang dibuka-buka.
Saya menghampirinya, dia terlihat sedang duduk jongkok,
membelakangi saya, dan sibuk melakukan sesuatu. Entah apa itu.
"Koe nyapo, ndes?"
Dobox menoleh dan cuma dibalas cengiran yang nggatheli, dan senyum
geli, sekaligus tertawa yang ditahan. Kalau saya membayangkan senyum Dobox, ingin
sekali saya belajar Muay Thai, agar bisa mendengkul mukanya dengan sempurna.
Saya mendekat karena penasaran. Tahu saya mendekat, dia langsung
memberi kode untuk tutup mulut dengan melintangkan pisau di mulutnya.Ternyata
dia sedang mengiris cabai rawit hijau segar yang cukup banyak.
"Eh... cangkemu menengo ndes. Tak ngiris lombok sik sing
akeh. Ngko tak umpetne. Nek pas masak, ngko ngerajang ning omah sithik wae. Ben
Bodhol ngertine lomboke saithik." Dobox mengatakan itu sambil
berbisik-bisik.
"Jancok...." jawab saya singkat, dan nyengir. Lalu beranjak
menuju meja kerja.
Saya sudah membayangkan apa yang akan terjadi nanti, dan tentu
saja keesokan hari. Ada yang akan menderita malam ini, juga esok pagi hari. Ada
yang bahagia malam ini, juga esok hari. Sudah pasti akan ada yang misuh-misuh
entah malam ini, atau besok pagi. Dan ada yang akan dipisuhi malam ini, atau
besok pagi. Saya, antara ingin ketawa dan mendukung ide jahat Dobox untuk
mengerjai satu orang ini.
Perusahaan menyediakan rumah setengah jadi untuk karyawan.
Walaupun belum jadi seratus persen, di situ sudah disediakan fasilitas dapur,
kamar mandi, dan satu kamar dengan satu unit AC yang bisa mendinginkan tiga bujang
lapuk yang syumuk.
Yang tinggal di situ, hanya Bodhol dan Dobox. Saya masih ngekos.
Khusus hari minggu, saya masuk pagi karena libur kuliah. Daripada harus kembali
ke kos tengah malam, lebih baik menginap di ‘mess’. Lagipula, jika tidur di kos
belum tentu saya bisa bangun pagi. Tapi di mess, sudah pasti Dobox yang lebih
dulu bangun di pagi buta. Secangkir kopi dengan air mendidih dan rokok di
tangan, sudah pasti menemani paginya. Tapi dengan bunyi alarm dua biji telepon
genggam yang suaranya bikin katak-katak di sungai sebelah mess merasa punya
saingan. Berisik!
Rencana Dobox berjalan mulus. Kami bertiga memasak, masing-masing
sudah punya tugas. Saya menyiapkan bahan dan wadah, Dobox yang merajang dan
memasak, Bodhol yang menjadi supervisor, membantu Dobox sekaligus menjadi
pengawas jumlah cabai yang akan dicurahkan demi keamanan mulut dan juga
perutnya. Karena dia tahu, saya dan Dobox adalah penyuka pedas. Jadi dia harus
ekstra hati-hati seandainya Dobox khilaf memasukkan cabai ke dalam wajan.
Dari kami bertiga, Bodhol orang yang paling ahli soal
masak-memasak. Maklum, dia alumni sebuah restoran yang cukup populer di
Bandung. Mulai urusan dapur hingga ‘front liner’, dia sudah khatam.
"Lomboke semene, yo ndes?"
Dobox menyodorkan cabai rawit merah segenggaman tangannya kepada
Bodhol.
"Kakehan kui, ndes! Kurangi! Mangan kok nyikso. Iki ki
mangan, dudu penyiksaan." katanya dengan nada sedikit marah.
"Yo, tak kurangi ndes. Rasah nesu." jawab Dobox dengan
mengurangi jumlah cabai di tangannya.
"Iki delok maaatanem, sing tak rajang semene. Saitik."
kata Dobox dengan logat Bojonegoronya yang kental. Ia merajang cabai dan
memasukkannya ke wajan yang sudah berisi Indomie yang sedang dia goreng. Saya mengamati
pertengkaran mesra dua bujang lapuk ini, tiga termasuk saya. Kisah ini, aktor
utamanya adalah mereka berdua. Saya hanya figuran, dan kadang-kadang menjadi
gong untuk pertengkaran-pertengkaran nggatheli mereka berdua.
Sejak awal mula proses memasak, setelah indomie selesai direbus
dan menuju proses penggorengan, saat Dobox mulai menumis bawang, mengocok
telur, serta memasukkan telur, entah kapan dia memasukkan cabai yang sebelumnya
sudah dia rajang di kantor. Dan itu jumlahnya lumayan. Dia mencampur cabai
rawit hijau, dan merah. Cabai rawit merah yang dirajang tadi hanyalah sebuah
pengalihan untuk menutupi cabai rawit hijau yang menjadi senjata utama. Lalu ditambah
dengan sayur-mayur hijau yang semakin menutupi, memperkeruh, serta menyamarkan keberadaan
cabai rawit hijau itu.
Indomie pujaan kami sudah matang, sudah siap dihidangkan. Kami tak
perlu piring. Kami hanya perlu sendok, keset, dan ruang tamu yang ukurannya
tidak seberapa luas.
Kami duduk lesehan, dengan wajan penuh indomie yang kami kelilingi
bertiga. Melingkar. Semua sudah siap. Masing-masing orang sudah memegang sendok.
“Ayo dimulai, to.” Bodhol
memulai pembicaraan di depan indomie goreng yang masih beruap dan beraroma
menyengat. Dia semacam pemimpin tahlil yang mengajak jama’ah untuk tawassul
lebih dulu.
“Yo ayo to ndes.” Dobox menimpali dengan membenamkan kepala sendok
ke dalam wajan yang penuh indomie itu. Saya menyusul dengan memulai menyendoki
indomie dari pinggiran wajan.
Beberapa suap sudah melewati kerongkongan saya. Mungkin juga
beberapa suap lebih banyak sudah melewati kerongkongan Dobox, bahkan sudah masuk
ke dalam lambung dan usus besarnya. Baru beberapa suap itu pula, Bodhol mengangkat
bicara.
“ASU! Iki mau lomboke piro, ndes?? Pedes tenan, CUK! Mukanya merah,
matanya berkaca-kaca. Wajahnya mengkilap dan berkeringat. Ia berdiri menuju
dapur mengambil minum.
“Lomboke saitik, ndes. Mau matanem yo weruh aku ngerajang lombok sepiro.”
Dobox mencoba meyakinkan Bodhol.
“Halah ndes..ndes.. iki ra patek pedes.” Kata saya membela indomie
“ora pedes, matamu! Ora mungkin nek lombok semono mau pedese koyo
ngene. Iki mesti lomboke luwih akeh. Aku yakin iki. Asu tenan! Cuk!”. Bodhol
kembali dengan air minum, dan sebotol kecap.
Bodhol menuangkan kecap di atas indomie goreng yang ada di ‘wilayah’nya.
Terlihat perjuangannya mengisi perut yang lapar dengan cobaan rasa pedas yang
membakar baginya. Menuangkan kecap, menyendoki indomie berkecap, lalu menyuapkannya
ke dalam mulut. Begitu seterusnya hingga sebotol kecil kecap itu tinggal seperempat.
Saya dan Dobox makan seperti biasa tanpa dosa.
Kami bertiga kenyang, menyerah dengan porsi indomie goreng Godzila.
Indomie dalam wajan itu Dobox kembalikan ke atas kompor. Esok pagi hari,
indomie itu sudah dihangatkan oleh Dobox, dan dibawa ke kantor dan disantap oleh
beberapa teman kantor.
“Mie gorenge enak, mas.” Kata seorang karyawati kantor kepada
saya.
“Yo enak, sing masak Dobox.”
“Wetengku panas, ndes. Asu tenan!” Bodhol menyambar dengan
cocotnya!
Saya cuma bisa nyengir kuda.
Hingga cerita ini ditulis, ‘korban’ belum pernah tahu berapa
jumlah cabai yang masuk ke dalam wajan itu. Termasuk saya. Yang saya tahu,
jumlahnya banyak. Itu saja.
Bulan lalu saya mengalami kondisi di mana emosi saya semacam terganggu. Agak labil dan agak gimana gitu. Tak perlu diceritakan secara detail lah ya. Akibatnya, saya mengalami kecemasan, kesulitan fokus dan konsentrasi. Singkatnya, otak dan jiwa saya memang benar-benar butuh penyegaran, hiburan, serta butuh latihan.
Setelah dari Surabaya menumpang Indonesia, memacu adrenalin, merontokkan serpihan-serpihan hati yang masih menusuk dada, saya memang bermaksud pergi ke Demak. Lalu mampir ke Kendal berkunjung ke beberapa saudara, sekaligus menziarahi makam ibu saya di sana.
Biasanya, dari Demak ke Kendal saya menunggang motor. Motor Yamaha Juliet, maksud saya Jupiter Z(1) yang saya kendarai dari Jogja. Tapi itu kondisional. Kalau pas ingin saja "lari-lari" pakai itu motor. Seringnya sih, naik bus milik Haji Haryanto. Bayar 60ribu, bisa numpang ngorok dan tanpa disadari sudah tiba di depan pasar Bintoro Demak.
Kalau tidak membawa motor dari Jogja, sering saya ke Kendal dengan motor pinjaman milik bulik, atau sepupu saya. Tapi kali ini saya ingin yang lainlah. Saya pinjam mobil om saya. Xenia generasi pertama, sedikit gemuk dan cebol. Otak dan jiwa saya butuh hiburan, butuh latihan. Makanya saya pakai itu mobil. Mobil dengan sentuhan loreng Pemuda Pancasila.
Jika ibu-ibu mencari hiburan dengan berbelanja di pasar hingga lelah, atau embak-embak milenial menyegarkan pikirannya dengan ngemall sampai gempor, maka saya punya cara sendiri untuk mencairkan kebekuan jiwa. Halah!
Setiap orang memiliki cara berbeda untuk mengembalikan kesegaran jiwa. Salah satu cara yang saya lakukan ialah mengemudi. Iya, mengemudi. Mengemudikan kendaraan roda empat atau lebih hingga lelah. Seperti halnya ibu-ibu dan embak-embak tadi, mengemudi bisa menjadi "lantaran" atau penyaluran emosi. Lelah, itu hanya efek samping. Kesenangan macan apa yang tidak melelahkan?
Tapi tunggu, ini bukan penyaluran emosi yang merugikan orang lain, ya. Kalau dipisuhi orang, dimaki-maki orang, mungkin bisa saja terjadi.
Kenapa megemudi? Kenapa musti nyopir? Mengemudi, nyopir, itu menuntut diri kita untuk fokus, konsentrasi, dan peka.
Pertama, fokus. Mengemudi menuntut kita memperhatikan satu titik di depan, yaitu jalan yang akan kita lalui. Kalau tidak fokus, mau kau bawa ke mana mobilmu Ferguso?
Kedua, konsentrasi. Walaupun sama-sama butuh konsentrasi, motor dan mobil jelas berbeda. Blind spot pada mobil jelas lebih luas, lebih banyak. Ini memerlukan kerja otak yang lebih. Otak kiri dan otak kanan harus selaras dan seimbang.
Mengendalikan mobil manual, membutuhkan gerak anggota badan kiri dan kanan. Semua bekerja. Oiya, ini mobil manual ya. Tidak berlaku untuk mobil otomatis.
Otak kiri, mengendalikan badan bagian kanan. Lampu sein di tangan kanan, gas di kaki kanan. Di sini logika bekerja.
Otak kanan mengendalikan badan sebelah kiri. Kopling di kaki kiri, transmisi di tangan kiri. Di sini emosi bekerja.
Lalu stir dipegang tangan kanan dan kiri dengan rumus "93", sembilan tiga. Tangan kiri pada posisi jam 9 dan tangan kanan pada posisi jam 3.
Ketiga, peka. Iya, peka. Peka dengan keadaan sekitar. Lebih tepatnya; peka yang cenderung memprediksi. Semacam memaksa diri untuk punya indera keenam begitu. Terutama pada kendaraan roda dua yang kadang tidak jelas ke mana arahnya. You know-lah... Sederhananya, waspada!
Sebenarnya banyak aspek yang bisa dibahas perihal mengemudi. Bagi saya, mengemudi, selain melatih otak, bisa menjadi upaya menyegarkan pikiran karena perjalanan adalah hal yang menyenangkan. Ini subjektif. Terlepas dari mengemudi sebagai sebuah profesi.
Kalau kamu juga mengalami hal yang hampir sama dengan saya, sekadar hiburan, bolehlah kita balapan. Siapa yang tiba duluan, dengan taruhan segepok uang, dari Jogja ke rumah bulik saya di Demak. Gimana? Saya pastikan saya yang tiba duluan.
Jam dinding di tembok kantor agen masih menunjukkan pukul 06:30. Semalam kami tiba sekitar jam 00:30. Ya, masih punya cukup waktu untuk istirahat setengah malam. Masih bisa melemaskan badan.
Cuaca cerah tapi agak dingin pagi ini tetap memaksa saya untuk mandi. Mandi adalah satu keharusan dan karunia yang cukup langka. Lha iya, untuk kru lain yang jamnya mepet, jangankan untuk mandi, untuk kencing saja susah. Untuk kru macam kami yang jam istirahatnya cukup dan turah ini, ya harus mandi. Meskipun harus bayar duaribu.
Saya berjalan santai menuju toilet umum yang berada dai sudut terminal. Berkalung handuk, menenteng kantong kresek berisi peralatan mandi, sesekali melihat-lihat keadaan sekitar sekaligus cuci mata. Untuk ukuran terminal kecil, terminal Purbalingga termasuk terminal yang ramai dan meriah.
Jangan berharap banyak soal toilet di sini. Bisa melunasi hajat sekaligus mandi saja sudah bagus. Kru memang harus pintar memenej buang air, terutama berak. Karena jika sudah dijalan, tidak mungkin bisa untuk berak sembarangan. Mau berak di mana? di pinggir jalan aspal? Bus kami memang memiliki toilet, tetapi itu hanya digunakan untuk buang air kecil alias kencing. Haram untuk berak!
Setelah ritual pagi yang gerakannya itu-itu saja, saya kembali menuju kantor agen. Tentu saja setelah membayar duaribu rupiah untuk ritual yang kurang lebih limabelas menit itu. Ya, limabelas menit untuk berak dan mandi.
Sebelum menuju agen, saya singgah sebentar melihat kondisi bus. Mulai bagian luar; cek bagasi, cek peralatan untuk ngeban seperti dongkrak dan setang-setangnya. Lalu melihat bagian dalam bus, memeriksa kebersihan, memastikan air toilet tersedia. Lalu menyalakan mesin untuk warming-up, kemudian menyalakan pendingin udara. Setelah itu saya kembali ke kantor agen, dan membiarkan bus itu panas dengan sendirinya.
Saya mendapati sopir saya sudah bangun, sudah duduk di belakang meja yang berada di teras.
"Wes tangi, mbah?" tanya saya.
"Yo wis nu, genah wis metengkreng ning kene."
"Tak kiro bablas ra tangi"
"Lambemu." jawabnya sedikit kesal
Saya meraih ransel, mengeluarkan seragam dan memakainya. Lalu menyiapkan berkas-berkas untuk perjalanan. Berkas-berkas, endasnya! haha. Ya biar terlihat keren saja. Saya menyiapkan; karcis, lembar stat(istik) penumpang, manifest agen, dan kupon makan. Semua harus sudah siap sebelum perjalanan.
Ketika sedang merapikan kembali barang-barang milik saya ke dalam ransel, datang seseembak berkerudung, berbaju lengan panjang kotak-kotak hitam bergaris putih, dengan bagian bawah baju yang menutup bokong, serta bercelaan jeans biru mengantar kopi ke meja agen. Saya tanya ke sopir saya.
"Aku gak mbok peseno kopi pisan, mbah?"
"Gak."
"Wo... "
"Kopi satu lagi ya, mbak." pinta saya kepada si embak yang cantik ini, yang cuma dibalas senyuman manis dan sedikit kata "iya,"
Bentuk wajahnya bulat, dengan make up tipis natural, dengan bibir yang merah muda tanpa lipstik.
Saya duduk di kursi depan meja, menanti kopi yang dibuatkan si embak ini. Sebut saja Mbak, ya? Mbak ini yang berjualan kopi dan pulsa di sebelah kantor agen, persis sebelahan. Mbak tidak sendiri, yang asumsi saya, itu adalah ibunya yang setiap hari berjualan gethuk goreng dan oleh-oleh khas Banyumasan. Mbak ini biasa membantu ibunya, maksud saya, asumsi saya itu ibunya.
Kopi pesanan saya diantarkan, "sini ya, mas?" ucapnya sambil meletakkan secangkir kopi hitam di depan saya, lalu melempar senyum yang manisnya luar biasa. Menurut saya, si Mbak ini cantik, ramah, murah senyum, dan istriable pokoknya. Bagaimana tidak? Seorang anak perempuan yang bisa membantu ibunya itu pasti layak dijadikan istri. Ya, namanya juga mimpi kondektur di pagi hari. hahaha
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 07:30, sudah saatnya kami berangkat. Berkas sudah siap, bus sudah siap. Sopir sudah melangkah lebih dulu menuju bus yang terparkir. Saya totalan dulu dengan agen perihal penumpang dan jumlah uang setoran ke kondektur. Setelah selesai, saya keluar agen.
Saya melempar senyum ke Mbak, dan dibalas senyum. Eh, ternyata di belakang si Mbak, ada si Ibu yang juga memperhatikan dan memberi senyum dari dalam warung oleh-oleh itu. Saya balas senyum Ibu itu dan pamitan.
"Saya berangkat dulu ya, bu."
"Nggih, mas. Hati-hati."
Lalu saya pamitan juga ke si Mbak, "Berangkat dulu, ya"
"Eh iya, mas." Dia agak terkejut karena sedari tadi tangannya tak lepas dari gawai. Dia tersenyum manis dengan tangan yang masih setengah menggenggam gawai.
Pagi ini saya berangkat dengan suasana hati yang aneh, semacam ada rasa deg-degan di dada tapi.. ah, tailah!
***Bersambung.
Kru bus sebenarnya adalah sebuah pekerjaan untuk mencapai peluang. Baru sebatas peluang. Target utamanya memang mengangkut penumpang.
Walaupun "sebatas" peluang untuk mendapatkan penumpang, ada strategi-strategi tertentu yang kami lakukan, atau memang harus kami lakukan.
Itu juga berlaku untuk PO kompetitor, strateginya memang hampir sama. Bahkan itu-itu saja.
Pekerjaan ini hampir mirip konsep perjudian dadu. Kami tidak tahu di mana bisa mendapat banyak penumpang. Tapi kami berusaha untuk bisa mendapat peluang memperoleh penumpang.
Di terminal Tirtonadi, Solo, kami "ngejam", menunggu antrean keberangkatan sesuai KPS (ijin trayek). Di depan kami sudah ada PO Eka yang parkir di shelter keberangkatan ke arah timur, Surabaya.
Jam kami, 7120 memang berada di belakang Eka. Mereka punya jam bagus, dan bisa parkir cukup lama. Peluang keterisian bus tentu saja lebih banyak.
Tiba giliran kami masuk shelter. Eka sudah lepas terminal Tirtonadi. Penumpang tidak begitu bagus hari ini. Terminal sepi nggelondang. Kami dapat jatah parkir kurang lebih 30 menit. Itupun jumlah keterisian penumpang tidak sampai penuh. 40 kursi hanya terisi separuh. Hanya beberapa penumpang jarak jauh (Surabaya). Sisanya Sragen dan Ngawi.
Selesai mengkarcisi, saya kembali duduk di bangku kiri. Mengawal sopir, menjadi mata kedua.
Kami masuk Pungkruk, Sragen, melewati jalan lingkar Sragen.
Ternyata di depan kami masih terlihat bokong Eka yang seharusnya sudah berjarak cukup jauh dengan kami. Asu! Diganduli.
"Mbah, kae Eka sing mau ning ngarepe awake dewe to? Kudune rak yo wes adoh. Metune suwi kono." Saya ngomong ke sopir, Mbah Suroso. Begitu saya memanggilnya.
"Iyo, kudune wes adoh. Bajingan tenan. Tak oyake wae! Tak jake balapan!"
Mbah Suro mulai memacu bus dengan kencang dan agak agresif. Eka di depan kami merasa dikejar, ia juga ikut lari karena sadar seharusnya jarak dia dan kami agak berjauhan. Interval waktunya tidak sedekat ini.
Mbah Suro adalah salah satu sopir sess, alias sopir banter. Cara mengemudinya pun enak. Bisa mengemudikan bus dengan kencang bahkan ngebut, tapi tetap halus, smooth.
Saat kejar-kejaran dengan Eka yang ada di depan kami, mbah Suro dengan kecepatan tinggi menempel bokong Eka.
Jalan lingkar Sragen tidak begitu lebar. Hanya muat untuk 2 kendaraan besar. Ini memang jalan satu arah untuk kendaraan besar, tapi masih sering ada sepeda motor yang melawan arah. Hal ini menjadi rintangan bagi Mbah Suro saat akan mendahului Eka. Tidak bisa langsung goyang kanan memasukkan kepala bus untuk mendahului.
Kejar-kejaran masih berlangsung, saya tentu saja deg-degan. Saat mendekati tikungan tajam dan nekuk hampir seperti letter L, mbah Suro coba mengambil peluang mendahului.
Eka menurunkan gigi, mbah Suro juga menurunkan gigi. Setelah melewati tikungan L itu, mbah Suro memacu bus dengan beringas tapi tetap halus dan nyaman. Eka yang mencoba "melarikan diri" berhasil kami tempel bokongnya.
Mbah Suro langsung goyang kanan, memasukkan kepala bus dan meraih seperempat badan Eka. Eka mencoba ikut goyang kanan karena di depannya ada truk trailer yang menghalangi jalannya. Karena ini jalur sempit, tidak bisa langsung asal goyang kanan.
Masih dalam posisi kejar-kejaran dengan kecepatan tinggi, kami sudah hampir menjangkau separuh badan Eka. Eka urung untuk goyang kanan karena posisinya sudah terjepit.
Dengan jarak antara kami dan Eka yang tipis, dengan kecepatan tinggi kami berhasil mendahului Eka.
Target mbah Suro, target kami, adalah mendahului Eka agar jangan sampai mencapai Pilangsari lebih dulu dan itu sudah tercapai.
Kenapa kami harus bersusah payah mendahului Eka yang "nggandoli" kami supaya kami sampai Pilangsari lebih dulu? Jawabannya ialah peluang mendapatkan penumpang. Sekali lagi, peluang.
Pilangsari merupakan kantung penumpang di wilayah Sragen, menuju arah timur, Surabaya.
Perjuangan balapan dengan risiko tubrukan untuk sampai di Pilangsari lebih dulu, ternyata hanya diganjar dengan memenangkan peluang tapi hampa penumpang. Haha.
Saat balapan, posisi saya memang agak miring-miring, bersiap-siap kalau benar-benar terjadi tubrukan. Medeni tenan.
Setelah melewati Pilangsari, di daerah Paldaplang, Mbah Suro berbicara ke saya.
"Koe mau nyapo miring-miring, Jib? Koyo arep mencolot. Wedi ye?"
"Haiyo wedi, mbah. Nempel tipis ngono je."
"Halah, kondektur dijak balapan ngono ae wedhi."
"Aku rung rabi je, mbah!"
"Hahahaha" dia tertawa lebar, dan puas.
Saya cuma mbatin "asu".
***
Keesokan harinya, saya bertanya ke Mbah Suro, sopir saya.
"Mbah, nek wingi kae Eka-ne mekso nganan, terus tubrukan pye Mbah?"
"Yo, rapopo." Jawabnya santai
"Asu." Batinku.
Dia santai, aku deg-degan. Aku rung rabi, Mbah!
Jaman masih awal-awal kuliah, secara kebetulan menumpang dengan orang yang penghidupannya dari honor menulis di koran. Waktu itu media online belum semeriah sekarang.
Dari menumpang tempat tinggal itu, saya kecipratan ilmu soal tulis-menulis. Beliau yang orang Minang, berasal dari Solok, Sumatera Barat, mengajari saya teknik dasar menulis terutama opini dan resensi. Juga tips serta trik agar tulisan bisa dimuat di koran. Tapi saya punya ketertarikan sendiri; menulis puisi. 😂
Melihat beliau yang tulisannya hampir setiap minggu methungul di koran, saya termotivasi untuk belajar menulis. Hampir setiap malam saya belajar menulis dan saya kirim ke redaksi koran lokal dan nasional.
Lama kelamaan, saya sudah tidak mengirim tulisan lagi karena tak ada satupun yang dimuat. Motivasi saya hilang sudah. Ternyata, hal yang belum saya tahu adalah; harus sabar mengirim tulisan ke meja redaksi. Sekali lagi, sabar. Kalau perlu dua kali lagi, sabar.
Saya memang tidak sabaran pada waktu. Toh saya masih punya pendapatan dari pekerjaan sebagai operator warnet. Jadi lebih banyak menjadi pembaca ketimbang penulis.
Bulan januari 2018, kembali berada dalam lingkaran penulis. Motivasi untuk menulis kembali muncul dan muncrat-muncrat. Ya saya turuti, mumpung ada orang-orang yang bisa "dipelajari" dan dengan baik hati mengajari.
Saya menyukai bus, dan suka naik bus. Saya menulis sebuah catatan perjalanan saat menumpang bus dari Bandung ke Jogja. Bukan sembarang bus, ini bus legendaris yang dulu terkenal suka balapan. Catatan Perjalanan Naik Sugeng Rahayu Dari Bandung ke Yogyakarta, judul tulisan pertama saya yang dimuat oleh media, dan ada honornya!
Setelah sekian lama menulis dan akhirnya dimuat, ternyata bahagia sekali rasanya. Apalagi, ini tulisan yang gaya bahasanya "aku banget". Saya bisa menyampaikan gagasan dengan bahasa saya sendiri. Renyah dan gurih.
Tulisan itu menjadi titik balik saya bahwa masih ada media yang mau menerima gagasan dan tulisan yang disampaikan dengan cara sedikit slewah.
Selamat ulang tahun keempat Mojok semoga masih menerima tulisan orang-orang sakit jiwa yang gembira dan bahagia.
Banyak hal yang ingin saya ceritakan. Tentu saja semua hal yang berbau "garasi." Maksudnya hal-hal tentang dunia perbusan dan lika-likunya.
Cerita terbaru yang beredar di garasi ialah kecelakaan di Sentolo, Kulonprogo, Yogyakarta. Melibatkan satu unit SR dan sebuah Toyota Fortuner yang masih anyar grisss!
Orang-orang di garasi, terutama para sopir pun bertanya-tanya. Kok bisa jalan selebar jalan Sentolo, bisa terjadi "adu kanan?".
Dilanjutkan oleh sahibul hikayah, saat SR mendahului dengan mengambil lajur kanan (jalur berlawanan), si Fortuner tidak "membuang" ke kiri. Terjadilah "adu kanan" itu.
Fakta yang agak sedikit mengejutkan, ternyata Fortuner anyar griss itu, pengemudinya seorang cewek, tidak punya SIM, dan... masih belajar! Waduh, pye jal?
Jadi, si cewek Fortuner ini belum familiar dengan "hukum rimba jalanan". Belum ngeh "cara"-nya saat salip menyalip di jalan, dan bagaimana "hukum"nya jika "bersosialiasi" dengan kendaraan besar.
Dengar-dengar, si Fortuner meminta ganti rugi 60 juta. Po rak yo kemut-kemut ndase supir bise.
Kalau mau belajar mengemudi, sebaiknya tidak di jalan umum. Kenapa? Bikin risih dan rusuh!
Bikin risih karena; membingungkan pengemudi di belakangnya. Saya sering menemui yang seperti ini. Berjalan lambat, meliuk-liuk. Mau saya dahului lewat kanan, eh dianya ikut ke kanan. Saat di klakson, malah panik goyang kiri goyang kanan. Kan taek! Ada juga yang diklakson malah semakin lambat dan menghalangi jalan. Hmm.
Yang kayak begitu itu, kan termasuk bikin lalu lintas tersendat, bahkan kalau yang masih belajar itu nubruk, atau kalau mereka (belajar) pakai mobil manual masih berkeringat jagung waktu mau memasukkan persneling dan lupa mana rem, mana kopling, dan kejadian itu di persimpangan pas lampu sedang hijau, kan anying. Begini ini yang bikin rusuh.
Kalau masih plegak-pleguk, belajar saja di lapangan dulu atau di kebon tebu, sawah juga boleh.
Kalau secara teknis sudah lancar, mental sudah siap, silakan terjun ke jalan untuk "memupuk" mental. Jangan biasakan langsung nyemplung ke jalan. Risikonya bukan hanya yang sedang belajar, orang lain pun bisa terkena dampak kalau langsung belajar di jalan.
Ingin sekali saya mendirikan sekolah mengemudi yang saya beri nama Sekolah Mengemudi Impian. Tapi sayangnya sudah ada Bikini Bottom Driving School milik Ny.Puff.
Nggatheli!
"Pak, omahe sampeyan iku ndi, pak?" Tanya saya pada kondektur pembimbing saya yang baru. Kalau di kampus, ada pembimbing dua. Nah, beliau ini pembing dua saya di USR ini.
"Omahku akeh. Takono arek-arek. Jogja enek, Suroboyo enek, Semarang enek, Solo enek. Takono mandoran Suroboyo nek gak percoyo."
"Kok akeh men pak?"
"Yo akeh. Omahku siji, gendakanku sing akeh"
"Jancuk, wes tuek isih gendakan." Saya cuma bisa mbatin.
Sayapun menimpali "lha sampean iku ndue ajian opo, pak? Mbok bagi-bagi ilmune"
"Yo gak ndue. Wong-wong do ngiro aku ndue ajian macem-macem. Padahal gak enek."
Beliau melanjutkan
"Hp montor (maksudnya bus) iku lho akeh nomore arek wedok. Gendakanku kabeh."
Saat istirahat di terminal Giwangan, memang bliyo agak lama telponan entah dengan siapa. Yang saya sendiri yakin, itu gendakannya.
Mengutip obrolan warung di garasi;
Tuek-tuek nggatheli!
Kalau teman-teman penasaran seperti apa tokoh kondektur pembimbing saya ini, lihat saja wajah Ki Daus. Mirip!
Haha
Untuk Tayo
Dik Tayo yang ramah,
Perkenalkan, aku kakak jauhmu di Indonesia. Namaku Sugeng.
Kakak mau berbagi sedikit cerita perihal dunia perbusan di Indonesia, di trayek yang kakakmu lalui ini.
Dik Tayo, kalau di tempatmu sana kamu dan teman-temamu Rogi, Gani, serta Lani bisa ingah-ingih dan cengengas-cengenges mengaspal, di sini tidak bisa seperti itu, dik. Di sini jalanan lebih ruwet dan tantangannya lebih njelimet.
Kalau ukuran tugas berat buat kalian cuma sebatas bertukar trayek seperti di episode My Job's The Hardest, kakak juga setuju. Semua memang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Tetapi di sini lebih dari itu, dik.
Jika kalian bisa berpindah jalur dengan "permisi boleh aku menyela?", dengan —tentu saja senyum ramah— maka di sini tidak cukup hanya dengan itu. Di sini harus sedikit memaksa, dik.
Ukuran kami lebih besar daripada kalian, dik. Untuk mendahului saja, kami kesulitan. Kami harus memasukkan dulu separuh badan kami untuk mendahului. Lalu memberi isyarat lampu sein.
Jika kendaraan di samping kami mengerti dan memahami, mereka akan melambat dan memberi jalan. Seringnya yang kami temui adalah kendaraan yang tidak mengerti, dik.
Mereka justru "menutup" celah untuk kami. Padahal di arah berlawanan sudah ada kendaraan lain, bahkan truk dengan muatan berat yang berusaha melambat agar kami bisa kembali masuk jalur.
Untuk itulah, kadang kami sedikit memaksa untuk kembali ke jalur dengan cara memepet kendaraan di sebelah kiri kami yang berusaha menutup celah.
Pun jika ada kendaraan yang ukurannya lebih kecil dari kami di lajur kanan yang tidak berusaha menepi saat kami sedang mendahului, kami akan mengintimidasi dengan mengambil lajur semakin ke kanan. Itu kami lakukan agar kami punya kesempatan untuk kembali masuk ke lajur kiri.
Jika tidak mau, dengan sangat terpaksa, sekali lagi sangat terpaksa, kami akan benar-benar memepet, jika kendaraan di depan kami semakin dekat dan kami "ora nyandak" untuk menghindar.
Dik Tayo, dengan tindakan seperti itu, bukan berarti kami kejam, ataupun jahat dik.
Tekanan kerja kami lebih berat, dik Tayo.
Kamu dan teman-temanmu, punya jam istirahat yang cukup, dik Tayo. Istirahat kami sedikit sekali. Untuk jarak tempuh Surabaya-Semarang yang jaraknya kurang lebih 750 km, ditempuh hampir 12 jam (jika lancar), lalu kami harus kembali lagi menuju Surabaya, dik. Istilahnya, putar balik.
Di Semarang, kami masih bisa istirahat paling lama 1 jam sebelum kembali ke Surabaya.
Di sana, kalian bisa nyanyi-nyanyi saat naik turun melewati pelangi. Kami di sini dik, harus berkeringat dingin dan ekstra hati-hati melewati hutan menuju ngawi, dik.
Kami harus berjibaku mendahului "tamiya-tamiya" ngeyel yang berjalan lambat dan susah didahului bahkan ada yang tak mau didahului.
Belum lagi, pengendara sepeda motor yang liarnya minta ampun. Muncul secara tiba-tiba dengan jurus "mak kluwer"-nya. Kadang melaju di tengah jalan dengan kecepatan nanggung. Kalian beruntung tidak menjumpai pengendara sepeda motor yang bikin senam jantung.
Sampai di sini dulu ya dik Tayo. Salam buat Rogi, Gani, dan Lani. Kalau kalian sudah cukup umur dan cukup berani, kakak temani melintasi jalur Ngawi.
Salam
Dari Kakak jauhmu
Sugeng Rahayu.
Yang Terlupakan
Di trip ke dua trayek Semarang, penumpang tidak begitu bagus. Dari terminal Bungurasih Surabaya jam 07:00 pagi hanya mengangkut 2 orang penumpang yang turun di Ngawi. Lalu bertambah 2 orang lagi yang naik dari Krian, dan turun di Nganjuk. Jadi kami hanya mengangkut 4 orang penumpang. Lebih mirip kendaraan yang berjualan meubel dibanding kendaraan pengangkut orang.
Ndilalah di Mojokerto naik lagi 4 orang. Lumayan, mereka turun Solo. Dari terminal Tirtonadi Solo pun, penumpang tidak begitu bagus. Total hanya 16 penumpang dari Solo, itupun ada yang turun di Boyolali, Salatiga, Ungaran. Hanya 4 orang yang turun di Terboyo Semarang.
Trip baliknya pun sama. Penumpang tidak begitu bagus.
Dari Terboyo, kami hanya mengangkut 2 orang penumpang yang akan turun di Salatiga. Di terminal bayangan Sukun, naik 6 orang. Salah satunya turun di Mojokerto, 3 orang turun di Solo, belum ada penumpang yang turun di Surabaya. Bus baru terisi 8 orang dari 44 kursi yang tersedia. Tiba di terminal Solo, penumpang tersisa 1 orang, penumpang tujuan Mojokerto.
Di Solo, kami masih beruntung ada penumpang yang naik. Lumayan, tambah 11 orang. Jadi total penumpang sudah 12 orang. Empat orang tujuan Sragen, tiga orang Ngawi, dua Nganjuk, Dua orang turun Mojokerto, satu orang Surabaya,
Selepas Solo, kami melaju cepat karena hanya akan menurunkan penumpang saja. Jika ada yang naik, akan tetap kami angkut.
Solo-Sragen-Ngawi, tidak ada penambahan penumpang. Penumpang bekurang dan turun di kota-kota itu. Hingga masuk rumah makan di Caruban untuk istirahat, penumpang tersisa lima orang. Tersisa penumpang Nganjuk, Mojokerto, dan Surabaya.
Selepas Nganjuk, hanya tersisa 3 orang penumpang. Kami melaju cepat hingga Mojokerto. Perjalanan malam memang sepi dan hampir tanpa rintangan, hampir. Hanya bertemu truk-truk besar yang masih agak lebih mudah "diatasi" daripada harus bertemu sepeda motor.
Setelah penumpang Mojokerto turun, kami kembali melaju cepat ke arah Surabaya. Rencananya, kami akan singgah dulu di SPBU sebelum masuk garasi.
Setelah mengisi solar full tank, kami masuk garasi untuk mengurus administrasi; rekapitulasi penumpang dan pendapatan.
Bus diparkirkan pengemudi di depan kantor begitu saja lalu menuju mess tempat istirahat. Saya dan kondektur pembimbing masuk kantor untuk menyelesaikan administrasi.
Seperti biasa, ada petugas sendiri yang memarkirkan bus di parkiran garasi di bagian belakang.
Saat sedang duduk-duduk di depan kantor, sekonyong-konyong datang mas-mas menghampiri saya. Dengan wajah bangun tidur, tampak sisa-sisa kantuk di matanya.
"Mas, bisnya kok nggak jalan? Malah berhenti di belakang sana?"
"Waduh, maaf mas. Saya kelupaan"
Saya segera ke kantor memanggil kondektur pembimbing.
"Pak, penumpangnya ada yang ketlingsut satu. Yang turun Surabaya!"
"Oiya! Aku juga lupa! Mana orangnya? Aku ikutkan bus yang keluar ke terminal"
"Itu orangnya di depan" saya menunjuk ke luar jendela kantor.
Kondektur pembimbing menemui penumpang terlupakan itu. Penumpang yang tertidur pulas di dalam bus yang kami lupakan, lalu mengikutkannya ke bus yang keluar garasi menuju terminal Bungurasih untuk menjalankan trip awal atau trip berangkat.
Menjadi yang terlupakan memang tidak enak. Lebih tidak enak lagi menjadi yang diabaikan. Hmm...yhaa
Di trip ke dua trayek Semarang, penumpang tidak begitu bagus. Dari terminal Bungurasih Surabaya jam 07:00 pagi hanya mengangkut 2 orang penumpang yang turun di Ngawi. Lalu bertambah 2 orang lagi yang naik dari Krian, dan turun di Nganjuk. Jadi kami hanya mengangkut 4 orang penumpang. Lebih mirip kendaraan yang berjualan meubel dibanding kendaraan pengangkut orang.
Ndilalah di Mojokerto naik lagi 4 orang. Lumayan, mereka turun Solo. Dari terminal Tirtonadi Solo pun, penumpang tidak begitu bagus. Total hanya 16 penumpang dari Solo, itupun ada yang turun di Boyolali, Salatiga, Ungaran. Hanya 4 orang yang turun di Terboyo Semarang.
Trip baliknya pun sama. Penumpang tidak begitu bagus.
Dari Terboyo, kami hanya mengangkut 2 orang penumpang yang akan turun di Salatiga. Di terminal bayangan Sukun, naik 6 orang. Salah satunya turun di Mojokerto, 3 orang turun di Solo, belum ada penumpang yang turun di Surabaya. Bus baru terisi 8 orang dari 44 kursi yang tersedia. Tiba di terminal Solo, penumpang tersisa 1 orang, penumpang tujuan Mojokerto.
Di Solo, kami masih beruntung ada penumpang yang naik. Lumayan, tambah 11 orang. Jadi total penumpang sudah 12 orang. Empat orang tujuan Sragen, tiga orang Ngawi, dua Nganjuk, Dua orang turun Mojokerto, satu orang Surabaya,
Selepas Solo, kami melaju cepat karena hanya akan menurunkan penumpang saja. Jika ada yang naik, akan tetap kami angkut.
Solo-Sragen-Ngawi, tidak ada penambahan penumpang. Penumpang bekurang dan turun di kota-kota itu. Hingga masuk rumah makan di Caruban untuk istirahat, penumpang tersisa lima orang. Tersisa penumpang Nganjuk, Mojokerto, dan Surabaya.
Selepas Nganjuk, hanya tersisa 3 orang penumpang. Kami melaju cepat hingga Mojokerto. Perjalanan malam memang sepi dan hampir tanpa rintangan, hampir. Hanya bertemu truk-truk besar yang masih agak lebih mudah "diatasi" daripada harus bertemu sepeda motor.
Setelah penumpang Mojokerto turun, kami kembali melaju cepat ke arah Surabaya. Rencananya, kami akan singgah dulu di SPBU sebelum masuk garasi.
Setelah mengisi solar full tank, kami masuk garasi untuk mengurus administrasi; rekapitulasi penumpang dan pendapatan.
Bus diparkirkan pengemudi di depan kantor begitu saja lalu menuju mess tempat istirahat. Saya dan kondektur pembimbing masuk kantor untuk menyelesaikan administrasi.
Seperti biasa, ada petugas sendiri yang memarkirkan bus di parkiran garasi di bagian belakang.
Saat sedang duduk-duduk di depan kantor, sekonyong-konyong datang mas-mas menghampiri saya. Dengan wajah bangun tidur, tampak sisa-sisa kantuk di matanya.
"Mas, bisnya kok nggak jalan? Malah berhenti di belakang sana?"
"Waduh, maaf mas. Saya kelupaan"
Saya segera ke kantor memanggil kondektur pembimbing.
"Pak, penumpangnya ada yang ketlingsut satu. Yang turun Surabaya!"
"Oiya! Aku juga lupa! Mana orangnya? Aku ikutkan bus yang keluar ke terminal"
"Itu orangnya di depan" saya menunjuk ke luar jendela kantor.
Kondektur pembimbing menemui penumpang terlupakan itu. Penumpang yang tertidur pulas di dalam bus yang kami lupakan, lalu mengikutkannya ke bus yang keluar garasi menuju terminal Bungurasih untuk menjalankan trip awal atau trip berangkat.
Menjadi yang terlupakan memang tidak enak. Lebih tidak enak lagi menjadi yang diabaikan. Hmm...yhaa
Pagi hari ini Terminal Bungurasih tampak lengang. Tidak ramai calon penumpang, tapi masih ada.
Bus patas kami sudah masuk shelter. Di depan kami ada bus Eka yang sudah ngetem hampir 5 menit. Sedikit penumpang yang naik, 3 orang.
Ini juga menjadi kekhawatiran kami, bus kami berpotensi sepi penumpang berdasarkan bus yang parkir di depan kami. Tapi siapa tahu? Namanya peluang pasti ada.
Benar saja, detik-detik sebelum 5 menit jatah ngetem kami habis, 2 orang penumpang naik. Itupun penumpang yang turun nganjuk. Kalau tidak ada tambahan penumpang? Ya kami jadi bus showroom kursi.
Keluar terminal kami masih mencoba nyeser penumpang. Siapa tahu ada tambahan satu atau dua orang. Namanya juga keberuntungan, hasilnya nihil. Bus hanya berisi 5 orang; 3 kru, dan 2 penumpang organik.
Kami melaju santai berharap ada tambahan "poin". Sampai SPBU Ciwie tidak ada satupun penumpang baru yang naik.
Hingga melewati jembatan penghubung Sidoarjo dan Mojokerto yang terpisah oleh sungai Brantas.
Di lampu merah Mertex, yang sudah masuk Mojokerto itu pun tidak ada penumpang. Lalu kami melewati para Manohara yang berjejer sepanjang jalan.
"Wah, ning kene isine Manohara tok, wuayu-ayu, semok-semok!" Seloroh pengemudi kami.
"Gak popo pak. Daripada dadi TKW, adoh kono kene. Adoh dulure. Mending ngono wae."
"Tapi kok yo ayu-ayu kerjaane ngono ya."
"Ya suk kapan-kapan aku tak mampir, pak. Aku kok penasaran karo Manohara-manoharane. Isih enom-enom."
Kamipun melewati jejeran Manohara-manohara itu dengan hening dan harapan-harapan.
Oiya, sampai lupa. Manohara-manohara yang dimaksud adalah para gadis-gadis yang berjualan es sari tebu di sekitar perempatan Mertex, Mojokerto.
Sengaja tidak saya foto supaya kalian penasaran. Hehe.
Ayo jalan-jalan naik bus.
Di trip ke dua trayek Semarang, penumpang tidak begitu bagus. Dari terminal Bungurasih Surabaya jam 07:00 pagi hanya mengangkut 2 orang penumpang yang turun di Ngawi. Lalu bertambah 2 orang lagi yang naik dari Krian, dan turun di Nganjuk. Jadi kami hanya mengangkut 4 orang penumpang. Lebih mirip kendaraan yang berjualan meubel dibanding kendaraan pengangkut orang.
Ndilalah di Mojokerto naik lagi 4 orang. Lumayan, mereka turun Solo. Dari terminal Tirtonadi Solo pun, penumpang tidak begitu bagus. Total hanya 16 penumpang dari Solo, itupun ada yang turun di Boyolali, Salatiga, Ungaran. Hanya 4 orang yang turun di Terboyo Semarang.
Trip baliknya pun sama. Penumpang tidak begitu bagus.
Dari Terboyo, kami hanya mengangkut 2 orang penumpang yang akan turun di Salatiga. Di terminal bayangan Sukun, naik 6 orang. Salah satunya turun di Mojokerto, 3 orang turun di Solo, belum ada penumpang yang turun di Surabaya. Bus baru terisi 8 orang dari 44 kursi yang tersedia. Tiba di terminal Solo, penumpang tersisa 1 orang, penumpang tujuan Mojokerto.
Di Solo, kami masih beruntung ada penumpang yang naik. Lumayan, tambah 11 orang. Jadi total penumpang sudah 12 orang. Empat orang tujuan Sragen, tiga orang Ngawi, dua Nganjuk, Dua orang turun Mojokerto, satu orang Surabaya,
Selepas Solo, kami melaju cepat karena hanya akan menurunkan penumpang saja. Jika ada yang naik, akan tetap kami angkut.
Solo-Sragen-Ngawi, tidak ada penambahan penumpang. Penumpang bekurang dan turun di kota-kota itu. Hingga masuk rumah makan di Caruban untuk istirahat, penumpang tersisa lima orang. Tersisa penumpang Nganjuk, Mojokerto, dan Surabaya.
Selepas Nganjuk, hanya tersisa 3 orang penumpang. Kami melaju cepat hingga Mojokerto. Perjalanan malam memang sepi dan hampir tanpa rintangan, hampir. Hanya bertemu truk-truk besar yang masih agak lebih mudah "diatasi" daripada harus bertemu sepeda motor.
Setelah penumpang Mojokerto turun, kami kembali melaju cepat ke arah Surabaya. Rencananya, kami akan singgah dulu di SPBU sebelum masuk garasi.
Setelah mengisi solar full tank, kami masuk garasi untuk mengurus administrasi; rekapitulasi penumpang dan pendapatan.
Bus diparkirkan pengemudi di depan kantor begitu saja lalu menuju mess tempat istirahat. Saya dan kondektur pembimbing masuk kantor untuk menyelesaikan administrasi.
Seperti biasa, ada petugas sendiri yang memarkirkan bus di parkiran garasi di bagian belakang.
Saat sedang duduk-duduk di depan kantor, sekonyong-konyong datang mas-mas menghampiri saya. Dengan wajah bangun tidur, tampak sisa-sisa kantuk di matanya.
"Mas, bisnya kok nggak jalan? Malah berhenti di belakang sana?"
"Waduh, maaf mas. Saya kelupaan"
Saya segera ke kantor memanggil kondektur pembimbing.
"Pak, penumpangnya ada yang ketlingsut satu. Yang turun Surabaya!"
"Oiya! Aku juga lupa! Mana orangnya? Aku ikutkan bus yang keluar ke terminal"
"Itu orangnya di depan" saya menunjuk ke luar jendela kantor.
Kondektur pembimbing menemui penumpang terlupakan itu. Penumpang yang tertidur pulas di dalam bus yang kami lupakan, lalu mengikutkannya ke bus yang keluar garasi menuju terminal Bungurasih untuk menjalankan trip awal atau trip berangkat.
Menjadi yang terlupakan memang tidak enak. Lebih tidak enak lagi menjadi yang diabaikan.
Membeli Koran.
Tadi pagi, saya membeli koran. Sangat jarang saya membeli koran. Hanya ada 2 alasan saya membeli koran; untuk mengecek tulisan yang dimuat atau tidak, dan yang ke dua adalah mencari iklan baris. Untuk bagian pertama, belum pernah dimuat sama sekali.
Pengecualian untuk hari dan mungkin beberapa hari ke depan. Saya membeli koran untuk keperluan latihan. Berlatih dan mengasah kemampuan mencoret dengan "lurus". Hahaha.
Saya mengikuti saran dari seseorang yang bertugas di bagian operasional, biasa disebut "Ops", atau manajer yang mengatur para kru, termasuk saya.
"Nggak apa-apa, pelan-pelan. Latihan saja pakai koran. Tulisan di koran bisa kamu coreti sambil jalan kaki. Tapi pasti berbeda jika kamu nyoretnya di dalam bus yang berjalan. Tapi setidaknya bisa untuk membiasakan diri."
Karcis bus, cetakannya memang mirip koran. Begitu juga dengan font-nya. Pekerjaan ini memang butuh latihan, bukan hanya sekadar mencoret melainkan teliti, cepat, dan tepat. Dan yang pasti mumet endasnya kalau belum terbiasa.
Dengan latihan, nanti akan biasa pada waktunya. Termasuk latihan melupakanmu.
#koran #kedaulatanrakyat
#coret #karcis #jokowi
Setelah kurang-lebih 10 jam perjalanan panjang Surabaya-Solo-Semarang yang melelahkan, kami istirahat di salah satu warung di terminal Terboyo yang kumuh dan sebagian bangunan sudah ada yang dirobohkan. Rencananya terminal Terboyo Semarang ini memang akan ditutup.
Bus kami dijadwalkan kembali berangkat pukul 18.15 dari terminal Terboyo, Semarang, menuju Surabaya, Jawa Timur.
Setelah selesai istirahat; makan, minum mengisi perut dan sedikit mengurangi rasa lelah, kami kembali ke tempat bus diparkirkan. Saya melihat ada dua calon penumpang yang menunggu di samping bus yang terparkir. Saya naik ke bus untuk mengecek kondisi dalam bus.
Sebelum naik, dua orang calon penumpang memanggil dan menghampiri saya.
"Mas, ini busnya ke Jogja?"
"Enggak mas. Ini ke Surabaya, lewat Solo. Jam segini yang ke Jogja sudah habis. Kalau mau ke Jogja, bisa naik ini dulu ke Solo. Lalu lanjut ke Jogja, bisa dengan PO ini juga nanti di sana."
"Tapi kata bapak itu, ini busnya ke Jogja."
Lalu datang bapak-bapak setengah baya yang cenderung tua, datang dan memanggil saya. Kira-kira begini percakapannya dalam bahasa Indonesia.
"Ada apa? Udah kamu diam saja. Aku yang urus."
Si Bapak Tua itu lalu mendekati kondektur yang membimbing saya. Saya tidak begitu mendengar mereka berbicara apa.
Saya pun mbatin; wah, dimakan calo dua orang ini tadi.
Terminal Terboyo, memang masih banyak calo yang berkeliaran. Sebagai kru, dan masih "magang", bahkan kru tetap pun tak bisa berbuat banyak. Karena apa?
Begini, ini soal "wilayah kekuasaan". Saat calon penumpang sudah "setuju" dengan penawaran calo itu tadi, itu berarti calon penumpang ini sudah menjadi "milik" si calo. Entah itu setujunya dengan sukarela atau sedikit terpaksa, atau terpaksa secara penuh.
Persetujuan itu menjadi "sah" jika calon penumpang sudah memberikan uang, tentu saja melebihi tarif resmi dari PO bus. Lalu uang itu baru dibayarkan ke kru sesuai "tujuan" yang ditentukan si Calo.
Dalam kasus ini, calon penumpang ingin ke Jogja. Sementara bus kami bertujuan ke Surabaya via Solo. Saya tidak tahu calon penumpang itu ditebas dengan harga berapa oleh si Calo, yang jelas Calo harus untung. Meskipun tidak bertujuan ke Jogja, calon penumpang harus dinaikkan ke bus kami tanpa tahu bus ini tidak sampai bahkan tidak melewati Jogja.
Kami, kru, tidak dapat berbuat banyak jika calon penumpang sudah terperangkap seperti itu. Jika kami melawan, maka kami yang esoknya akan "diputus" rejekinya di terminal. Ini karena ada kode etik tak tertulis yang tadi saya sebut; wilayah kekuasaan.
Calon penumpang yang akhirnya menjadi penumpang bus kami, "diturunkan" di Kartosuro. Tentu saja dengan naik bus lagi agar bisa tiba di Jogja.
Dari barang bawaan yang saya keluarkan dari bagasi, masih ada label "SRG", three letter code untuk Semarang, dari sebuah maskapai penerbangan. Saya tidak tahu sudah berapa calo yang mereka lewati untuk "sekadar" tiba di terminal Terboyo.
Jadilah Penumpang Cerdas
Sebelum bepergian, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, termasuk perangkap calo, carilah informasi sebanyak-banyaknya tentang rute, kota, terminal, atau apapun itu yang akan kita lewati.
Dalam kasus ini, setelah turun dari pesawat atau keluar dari bandara, setidaknya sudah ada informasi harus ke mana.
Jika dari bandara, lalu dilanjutkan dengan naik bus untuk sampai ke kota tujuan, maka kita harus tahu lebih dulu bus apa yang akan kita naiki, naik dari mana, jurusan mana, berapa tarifnya (atau perkiraan tarifnya). Jika harus oper di terminal berikutnya, kita juga harus tahu terminal mana, dan naik jurusan mana, serta berapa tarifnya.
Tidak sulit untuk menemukan informasi-informasi itu diinternet. Gunakan gawai untuk googling. Kalau masih tanya bagaimana caranya? Kebangetan, jancuk!
Karena dua orang yang masuk perangkap calo, usianya masih muda dan saya lihat gawainya sudah seperti talenan. Saya kira sudah pasti bisa digunakan untuk mencari informasi. Kalau kuotanya habis? Udah tahu kalau mau bepergian, ya seharusnya persiapan.
Di internet, banyak informasi yang bisa didapat soal trayek bus, jadwal, nama PO bus, harga karcis, jenis body bus, mesin, nama supir, bahkan plat nomornya juga.
Beberapa PO juga sudah mulai banyak yang memiliki website yang bisa diakses informasinya.
Tidak ada alasan lagi untuk terperangkap calo. Calo sekarang sudah old-old.
Corat-coret
Corat-coret dengan media yang diam seperti tembok, sangatlah menyenangkan. Tapi akan berubah menegangkan saat corat-coret di media yang bergoyang-goyang.
.
.
Tampaknya mudah sekali mencoret karcis. Tapi ternyata mencoret karcis bukanlah kegiatan yang cukup mudah.
.
.
Dengan posisi berdiri dan berada di sebuah kendaraan besar yang bergerak, dan tentu saja bergoyang, banyak coretan yang mencla-mencle alias melenceng.
.
.
Ada teknik tersendiri, yang tentu saja dengan kearifan lokal, supaya coretan yang dihasilkan menjadi "lurus", rapi, dan tepat sasaran. Lebih tepatnya tepat coretan.
.
.
Itu yang diajarkan Pak Dosbing, Dosen Pembimbing yang melelring/mereling saya di Universitas ini.
.
.
Sering sekali beliau menegur saya jika hasil coretan belum "lurus", dan dengan sabar beliau kembali mengulang, mempraktikkan cara mencoret karcis agar lurus.
.
.
"Sering-sering latihan. Pakai kertas bekas. Posisikan karcis hampir agak berdiri. Arahkan dan letakkan spidol tepat dititik awal yang akan dicoret."
.
.
Posisi spidol dengan karcis hampir membentuk huruf V.
.
"Lalu tarik srettt ke bawah. Ingat, karcisnya diangkat. Ini bukan nulis di meja. Tapi di dalam bis."
.
Sering beliau memperbaiki kesalahan saya, dengan tingkat kesabaran yang luar biasa.
.
Beliau-beliau ini, mereka ini, ialah orang-orang lelah yang kurang tidur, tapi masih bisa tersenyum melayani penumpang.
.
Saya sendiri? Orang yang sering ketiduran dan sengaja tidur, apalagi pas naik bus.
.
#sugengrahayu #crew
Hidup di Mana.
Seminggu yang lalu, sepulang dari Wonosari, Gunungkidul, ada hal yang membuat saya berpikir dan kepikiran hingga sekarang.
Dalam perjalanan, setelah melewati bundaran Siyono ke arah Jogja, saya berada tepat di belakang sebuah big bus pariwisata-yang kalau tidak salah bergarasi di Magelang-. Busnya masih baru dan bagus.
Kalau berkendara dengan sepeda motor, saya senang sekali berada di belakang bus dan “nginthil”, tentu saja dengan menjaga jarak aman. Ini penting!
Setelah bundaran Siyono, banyak jalanan yang turun naik. Saya rela diasapi bus itu cuma karena ingin menikmati deru suara mesin Hino RK 8, dan kesenangan saat mendengar bunyi “seeeessssssspokkkk!”, suara exhaust brake, rem pelambat yang cara kerjanya menutup saluran gas buang atau knalpot.
Kalau teman-teman merasakan kesenangan pada hal-hal di atas, sebaiknya kita sama-sama ke Ghrasia untuk memeriksa kondisi kejiwaan kita. Orang waras macam apa yang bahagia dengan hal-hal seperti itu? Hahaha
Selama perjalan menuruni perbukitan itu, saya jadi berpikir. Setelah sekian lama hidup begini-begini saja, jangan tanya begininya bagaimana. Kalau situ jomlo, pikir saja “begini”-nya itu seperti apa.
Yang membuat konsentrasi saya agak buyar dalam perjalanan itu ialah; “saya harus memulai hidup di mana? Saya harus memilih ingin hidup di mana”.
Justru malah “di mana” dulu yang kepikiran di kepala saya. Kenapa bukan “dengan siapa” lebih dulu? Ah, entahlah.
Saya akan memikirkan “di mana” sambil menikmati petualangan dan “kuliah” di kampus satu ini.
“Prei kiri!”
Seminggu yang lalu, sepulang dari Wonosari, Gunungkidul, ada hal yang membuat saya berpikir dan kepikiran hingga sekarang.
Dalam perjalanan, setelah melewati bundaran Siyono ke arah Jogja, saya berada tepat di belakang sebuah big bus pariwisata-yang kalau tidak salah bergarasi di Magelang-. Busnya masih baru dan bagus.
Kalau berkendara dengan sepeda motor, saya senang sekali berada di belakang bus dan “nginthil”, tentu saja dengan menjaga jarak aman. Ini penting!
Setelah bundaran Siyono, banyak jalanan yang turun naik. Saya rela diasapi bus itu cuma karena ingin menikmati deru suara mesin Hino RK 8, dan kesenangan saat mendengar bunyi “seeeessssssspokkkk!”, suara exhaust brake, rem pelambat yang cara kerjanya menutup saluran gas buang atau knalpot.
Kalau teman-teman merasakan kesenangan pada hal-hal di atas, sebaiknya kita sama-sama ke Ghrasia untuk memeriksa kondisi kejiwaan kita. Orang waras macam apa yang bahagia dengan hal-hal seperti itu? Hahaha
Selama perjalan menuruni perbukitan itu, saya jadi berpikir. Setelah sekian lama hidup begini-begini saja, jangan tanya begininya bagaimana. Kalau situ jomlo, pikir saja “begini”-nya itu seperti apa.
Yang membuat konsentrasi saya agak buyar dalam perjalanan itu ialah; “saya harus memulai hidup di mana? Saya harus memilih ingin hidup di mana”.
Justru malah “di mana” dulu yang kepikiran di kepala saya. Kenapa bukan “dengan siapa” lebih dulu? Ah, entahlah.
Saya akan memikirkan “di mana” sambil menikmati petualangan dan “kuliah” di kampus satu ini.
“Prei kiri!”
Reling
Sebelum “jalan”, atau menjadi kru tetap, harus menjalani serangkaian latihan atau training yang didampingi kru tetap. Orang-orang garasi menyebutnya “Reling”, padahal di surat tugas disebut “Lelring”.
Istilah “reling” dan “lelring”, tidak ada di KBBI, pun dalam istilah lain di bahasa asing belum saya temukan. Kalau ada teman-teman yang bisa menemukan arti istilah di atas, saya akan sangat senang sekali.
Ada beberapa hal yang harus dipelajari saat reling. Yang pertama harus dipelajari seorang kru ialah mengetahui posisi “halte”. Halte di sini bukan halte yang umum dalam bentuk fisik. Misalnya halte bus kota, halte Trans Jogja atau sejenisnya.
Walaupun sering digunakan untuk menaik-turunkan penumpang, tapi di lokasi-lokasi ini tidak ada bangunan halte. Halte hanya istilah untuk menentukan check point sebagai patokan penghitungan tarif, manifes penumpang, dan coretan trayek pada karcis.
Halte bisa berupa pasar, kecamatan, atau tempat-tempat yang menjadi kantong-kantong penumpang. Misalnya, trayek Jogja-Solo. Halte atau check poin yang dilewati adalah: 1. Terminal Giwangan, 2. Blok O, 3. Janti, 4. Maguwo, 5. Kalasan, 6. Prambanan (Pasar), 7. Terminal Klaten, 8. Karangwuni, 9. Penggung, 10. 11. Delanggu, dan seterusnya sampai terminal Solo. Tempat-tempat tersebut ada dalam jalur yang dilewati bus.
Misalnya begini, penumpang naik dari Giwangan, dan akan turun di Klaten. Di klaten sendiri ada beberapa halte; terminal Klaten, sub terminal Penggung, atau Delanggu. Kru harus memastikan penumpang ini turun di “halte” Klaten yang mana. Karena itu akan berpengaruh pada tarif dan manifest penumpang.
Jika penumpang bilang turun terminal Klaten, di karcis sudah dicoret Yogya-Klaten, ternyata penumpang tersebut turun di Delanggu, maka ada kelebihan manifes penumpang dari halte Klaten terminal hingga Delanggu. Yang artinya, penumpang tersebut tidak berkarcis dari terminal Klaten hingga Delanggu, alias penumpang sarkawi. Kalau ketahuan petugas kontrol, kru akan dikenakan “klaim”/”klem”.
Untuk yang masih relingan, mungkin akan dimaklumi, tapi tidak untuk diulangi.
Tansah relingan sliramu
Wong ayu kang dadi pepujanku
Eh kelingan, ding.
Sebelum “jalan”, atau menjadi kru tetap, harus menjalani serangkaian latihan atau training yang didampingi kru tetap. Orang-orang garasi menyebutnya “Reling”, padahal di surat tugas disebut “Lelring”.
Istilah “reling” dan “lelring”, tidak ada di KBBI, pun dalam istilah lain di bahasa asing belum saya temukan. Kalau ada teman-teman yang bisa menemukan arti istilah di atas, saya akan sangat senang sekali.
Ada beberapa hal yang harus dipelajari saat reling. Yang pertama harus dipelajari seorang kru ialah mengetahui posisi “halte”. Halte di sini bukan halte yang umum dalam bentuk fisik. Misalnya halte bus kota, halte Trans Jogja atau sejenisnya.
Walaupun sering digunakan untuk menaik-turunkan penumpang, tapi di lokasi-lokasi ini tidak ada bangunan halte. Halte hanya istilah untuk menentukan check point sebagai patokan penghitungan tarif, manifes penumpang, dan coretan trayek pada karcis.
Halte bisa berupa pasar, kecamatan, atau tempat-tempat yang menjadi kantong-kantong penumpang. Misalnya, trayek Jogja-Solo. Halte atau check poin yang dilewati adalah: 1. Terminal Giwangan, 2. Blok O, 3. Janti, 4. Maguwo, 5. Kalasan, 6. Prambanan (Pasar), 7. Terminal Klaten, 8. Karangwuni, 9. Penggung, 10. 11. Delanggu, dan seterusnya sampai terminal Solo. Tempat-tempat tersebut ada dalam jalur yang dilewati bus.
Misalnya begini, penumpang naik dari Giwangan, dan akan turun di Klaten. Di klaten sendiri ada beberapa halte; terminal Klaten, sub terminal Penggung, atau Delanggu. Kru harus memastikan penumpang ini turun di “halte” Klaten yang mana. Karena itu akan berpengaruh pada tarif dan manifest penumpang.
Jika penumpang bilang turun terminal Klaten, di karcis sudah dicoret Yogya-Klaten, ternyata penumpang tersebut turun di Delanggu, maka ada kelebihan manifes penumpang dari halte Klaten terminal hingga Delanggu. Yang artinya, penumpang tersebut tidak berkarcis dari terminal Klaten hingga Delanggu, alias penumpang sarkawi. Kalau ketahuan petugas kontrol, kru akan dikenakan “klaim”/”klem”.
Untuk yang masih relingan, mungkin akan dimaklumi, tapi tidak untuk diulangi.
Tansah relingan sliramu
Wong ayu kang dadi pepujanku
Eh kelingan, ding.
Jam’iyah Patah Hati.
Seorang teman membuat status di aplikasi obrolan yang isinya begini:
“teringat puasa Ramadhan lima tahun yang lalu”
Sebagai lelaki--yang pernah patah hati--saya tentu mengerti maksud dan tujuan status itu.
Maksudnya tentu saja pelampiasan akan kenangan, amarah, kerinduan, dan sejenisnya itu. Sulit dijelaskan karena rasanya campur-aduk tidak karuan.
Tujuannya adalah agar perasaannya sedikit lega. Ya, walaupun orang dituju atau disindir entah tahu atau tidak. Harapannya tentu saja supaya yang dituju tahu. Kalau pura-pura tidak tahu ya ncen asu! Tapi kayane yo asu tenan.
Saya pun mengomentari status kawan saya itu. Dengan menawarkan solusi tentu saja.
“perlu main kasar po mas? Didukunke wae po?”
“Haha… ora sah”
“Lha pye mas? Difatihahi opo diyasini?”
“Ya kui wae haha.”
“Diyasini? Ayo mas”
“wkwkw kok malah koyo arep nyewu”
“Hayo rapopo, nyewu wafatnya hati dan perasaannya mas. Nggawe Jam’iyah Patah Hati wae po pye mas? Yasinan ben malam jum'at. Khususon untuk wanita pembunuh perasaannya sendiri. Sing malah milih wong liyo, tapi goroh karo perasaane dewe. Kui layak diperingati koyo wong mati mas. Syukur nek mati tenanan. Malah lego, ra korban perasaan. Hahaha”
“Masshooooooook”
Sepertinya memang perlu ada pendirian Jam’iyyah Patah Hati yang kegiatannya baca Al-Qur’an khusus untuk orang-orang yang hatinya sudah ambyar pyar!
Agar apa? Supaya pemuda-pemudi terhindar dari dampak patah hati yang sungguh-sungguh ngeri. Diantaranya yang paling fatalialah kecenderungan atau adanya keinginan untuk bunuh diri. Hmm
Wallahu A’lam.
Tuhan,...
berdosakah hamba yang tidak merindukan Ramadhan?
Sleman, 16 Mei 2018 / 1 Ramadhan
AKU MEMANG TAI
mereka berkata:
hidupmu hanyut seperti tai di kali.
aku berkata:
aku memang tai.
aku tai yang sanggup memecah batu-batu yang kulalui.
Menyebut nama Elsa, saudara pasti terbayang penyanyi dangdut dengan body semlohay, bohay, wajah cantik aduhay, dan suaranya yang ambooy. Ya, betul, Elsa Safira! Penyanyi dangdut koplo pantura. Saudara tidak usah berpikir menjurus ke situ. Ini Elsa yang lain.
Elsa yang saya bicarakan ini, seonggok gerobak purba Jepang dengan nama asli Colt L300. Orang-orang di tempat saya menyebutnya dengan nama Elsapek. Huruf “L” dibaca “el”, dan “sapek” adalah bahasa Cina (Hokian) untuk angka 300. Entah disebut apa pikap purba ini di tempat saudara. Saya menyebutnya Elsa.
Kenapa gerobak purba? ini saudara saya beritahu.
Pada awal kelahirannya tahun 1981, L300 menggunakan mesin bensin 1400 cc lalu dalam perjalanannya ada peningkatan performa menjadi 1600 cc pada tahun 1984. Pada tahun 2000, L300 mesin bensin harus diakhiri perkembangbiakannya karena dianggap tidak populer. Lha iya, untuk urusan usung-usung, orang lebih percaya dan yakin dengan mesin diesel. Lagipula, mesin bensin pasti menggeh-menggeh untuk urusan ini, apalagi yang berat-berat, pasti kurang roso!.
Di tahun 1984, Mitsubishi memperkenalkan varian L300 dengan mesin diesel 2300cc. Lalu pada tahun 1988 mesin diesel 2300 cc digantikan dengan mesin diesel 2500cc. Mesin inilah yang digunakan dan bertahan hingga saat ini.
Sejak kelahirannya pada 1981, bentuk L300 tampak wagu dengan kabin yang kotak, lampu bulat besar melotot, dan merk “mitsubishi” besar yang terletak persis di tengah-tengah kedua lampu utama. Lalu ada facelift yang hanya mengubah bentuk lampu bulat melotot, menjadi kotak tanpa sudut, dan perubahannya hanya itu saja.
Saat saya kelas 2 SMP tahun 2001, pertama kali saya belajar mengemudikan mobil ya si Elsa, L300 ini. Saat ditinggal pakde saya berangkat haji, di rumah tidak ada orang, cuma mbah seorang, penasaran juga sama pikap ini yang tiap hari parkir di halaman kosong depan rumah, tempat yang biasa digunakan menjemur ikan asin. Awalnya cuma memandang, lalu ngelus-ngelus, lama-lama nggak tahan, akhirnya saya naikin juga! Lha wong kuncinya di rumah, tidak ikut diajak berangkat haji.
Berbekal ilmu dan pengalaman mengendarai buraq sepeda motor kopling dan beberapa kali observasi ke pakde saya saat nyupir pikap ini, terutama cara mengoper gigi, saya punya keyakinan pasti bisa. Tinggal mengumpulkan keberanian saja, dan tentu saja kesempatan.
Kesempatan itu datang. Kunci saya ambil, masuk ruang kemudi, masukkan anak kunci ke lubang kunci, melakukan simulasi mengoper gigi; menginjak kopling, masukkan gigi, injak kopling lagi, oper gigi. Simulasi selesai, keringat dingin menderai bray,.. deg-degan, apalagi ini pengalaman pertama! Saya putar kunci yang sudah temancep itu, greng! Mesin hidup, jantung berdetak semakin kencang, keringat dingin semakin bercucuran.
Injak kopling, coba masuk ke gigi mundur, lepas kopling pelan-pelan ternyata salah masuk gigi! Masuk gigi empat! Elsa bergerak ke depan, bemper depan menabrak pagar bambu depan rumah. Bruk!. Ah, mboh, pikir keri! Masih belum nyerah dan semakin penasaran, coba lagi meraba-raba mencari gigi mundur.
Percobaan kedua, dengan mantap masuk ke gigi mundur, tekan tuas ke bawah mentok, lalu tarik mundur, jleb! Lepas kopling pelan-pelan, akhirnya mundur juga. Manuver, naikkan tuas persneling mentok ke atas, dorong maju, masuk gigi satu lalu saya bawa muter-muter ke tanah lapang sekitar TPI, tempat pelelangan ikan lho ya...bukan stasiun tv.
Dari percobaan itu saya sudah bisa ngoper gigi dari satu ke dua dalam kondisi mobil berjalan merupakan pencapaian luar biasa. Meskipun setirnya masih oleng saat oper gigi.
Pada jaman itu, pikap ini masih belum power steering. Setir mobil ini berat, tapi ringan saat pikap sudah bergerak. Interior “seadanya” karena lebih mengutamakan kelegaan kabin, dan posisi tuas transmisi atau persneling yang saya tidak suka, jelek! Posisinya berada di dekat batang kemudi, oper gigi dengan cara maju-mundur dan naik-turun. Wagu dan tidak enak.
Tahun 2007 Elsa mengalami facelift. Kali ini facelift-nya hanya berubah sedikit dari bentuk sebelumnya. Perubahan hanya pada bentuk grill depan, tulisan “mitsubishi” besarnya hilang, diganti lambang tiga berlian, dan ada stiker “power steering”. Interiornya? masih sama persis pas saya dolanan mobil ini waktu kelas 2 SMP. Serasa saya kembali ke jaman SMP, dengan mobil yang sama, cuma saya yang jadi bertambah tua, dan mobilnya tidak. Hanya menambah teknologi power steering saja. Dasar pikap purba sialan!
Soal tenaga, Elsa a.k.a elsapek ini adalah T-Rex di zaman now. Saudara harap maklum, ini pikap purba, bertenaga luar biasa yang terisi di putaran bawah hingga putaran atas. Benar-benar enak dengan torsi 13.6 Kg-m diperoleh pada putaran 2500 rpm.
Walau pikap purba, pengereman sudah cukup baik dengan penggunaan cakram pada rem depan. Untuk suspensi, sodara harap maklum. Karena ini mobil niaga alias mobil mbut gawe, jelas tidak nyaman alias gemlodak kalau kosongan. Tapi setidaknya masih bisa mentul-mentul kalau diisi muatan.
Selain jago di tanjakan, jago di jalan datar, pikap purba ini juga jago ngebut. Saya pernah njajal dari Demak ke Kudus bisa lari 100km per jam dan itu masih belum habis napasnya. Tapi karena jalannya banyak jeglongan hadiah musim hujan, saya tidak berani ngabisin napasnya. Saya malah takut kalau napas saya yang habis karena celaka. Bisa saja roda belakang kehilangan traksi saat melakukan pengeraman. Elsa kosong tanpa muatan apabila bermanuver mendadak bisa menyebabkan dia dan saya munting-munting di tengah jalan. Bahaya untuk kelangsungan hidup kami, hidup saya saja maksudnya. Elsa bisa dicarikan ganti Elsa yang lain.
Banyak pengusaha, petani, nelayan, atau siapapun itu memakai pikap purba ini untuk usung-usung. Termasuk bulek saya yang pakai pikap purba ini untuk ngusungi teri dari TPI ke lokasi pengolahan. Sudah pasti muatannya overload. Sampai sekarang belum ada keluhan dari mobil purba ini. Kaki-kaki dan sasis masih sehat wal afiat belum pernah keseleo dan encok. Konsumsi solar yang irit, dan tak pilih-pilih rasa solar, bisa diajak susah. Maksudnya solar keruh pun tidak masalah untuk mobil ini, tetap bisa ngebul.
Dengan kelebihan jago di tanjakan, tenaga yang selalu terisi di putaran bawah hingga putaran tinggi, bisa diajak lari kencang juga, sasis yang kuat walau sering overload muatan, elsapek adalah legenda mobil niaga pikap di Indonesia.
Sejak dilahirkan sampai sekarang muka depan hanya sedikit mengalami perubahan, tetap ngothak seperti lebam dan begitu-begitu saja. Cenderung jelek bahkan jelek banget. Coba saja tatap dia lama-lama, kzl juga!
Mesin diesel yang tidak ada perubahan sejak 1988, Interior masih sama persis sejak pertama lahir tanpa perubahan dengan bentuk setir purba. Setidaknya setirnya masih berbentuk lingkaran, ditambah tuas persneling yang posisinya ngeselin.
Dengan perubahan yang begitu lambat pada pikap ini, dengan segala hormat saya memberi gelar pada pikap ini sebagai pikap purba sepanjang masa dengan segala ke-jadul-annya. Tapi setidaknya termaafkan dengan kelebihannya yang awet, kuat, bertenaga, jarang jajan onderdil, dan doyan solar keruh.
Akhirul kalam, kalau Colt T120 akan tamat sehari setelah kiamat, pikap purba ini akan tamat sebulan setelah kiamat.