Hidup di Mana

Hidup di Mana.

Seminggu yang lalu, sepulang dari Wonosari, Gunungkidul, ada hal yang membuat saya berpikir dan kepikiran hingga sekarang.

Dalam perjalanan, setelah melewati bundaran Siyono ke arah Jogja, saya berada tepat di belakang sebuah big bus pariwisata-yang kalau tidak salah bergarasi di Magelang-. Busnya masih baru dan bagus.

Kalau berkendara dengan sepeda motor, saya senang sekali berada di belakang bus dan “nginthil”, tentu saja dengan menjaga jarak aman. Ini penting!

Setelah bundaran Siyono, banyak jalanan yang turun naik. Saya rela diasapi bus itu cuma karena ingin menikmati deru suara mesin Hino RK 8, dan kesenangan saat mendengar bunyi “seeeessssssspokkkk!”, suara exhaust brake, rem pelambat yang cara kerjanya menutup saluran gas buang atau knalpot.

Kalau teman-teman merasakan kesenangan pada hal-hal di atas, sebaiknya kita sama-sama ke Ghrasia untuk memeriksa kondisi kejiwaan kita. Orang waras macam apa yang bahagia dengan hal-hal seperti itu? Hahaha

Selama perjalan menuruni perbukitan itu, saya jadi berpikir. Setelah sekian lama hidup begini-begini saja, jangan tanya begininya bagaimana. Kalau situ jomlo, pikir saja “begini”-nya itu seperti apa.

Yang membuat konsentrasi saya agak buyar dalam perjalanan itu ialah; “saya harus memulai hidup di mana? Saya harus memilih ingin hidup di mana”.

Justru malah “di mana” dulu yang kepikiran di kepala saya. Kenapa bukan “dengan siapa” lebih dulu? Ah, entahlah.

Saya akan memikirkan “di mana” sambil menikmati petualangan dan “kuliah” di kampus satu ini.

“Prei kiri!”

You Might Also Like

0 comments