Peluang


Kru bus sebenarnya adalah sebuah pekerjaan untuk mencapai peluang. Baru sebatas peluang. Target utamanya memang mengangkut penumpang.

Walaupun "sebatas" peluang untuk mendapatkan penumpang, ada strategi-strategi tertentu yang kami lakukan, atau memang harus kami lakukan.

Itu juga berlaku untuk PO kompetitor, strateginya memang hampir sama. Bahkan itu-itu saja.

Pekerjaan ini hampir mirip konsep perjudian dadu. Kami tidak tahu di mana bisa mendapat banyak penumpang. Tapi kami berusaha untuk bisa mendapat peluang memperoleh penumpang.

Di terminal Tirtonadi, Solo, kami "ngejam", menunggu antrean keberangkatan sesuai KPS (ijin trayek). Di depan kami sudah ada PO Eka yang parkir di shelter keberangkatan ke arah timur, Surabaya.

Jam kami, 7120 memang berada di belakang Eka. Mereka punya jam bagus, dan bisa parkir cukup lama. Peluang keterisian bus tentu saja lebih banyak.

Tiba giliran kami masuk shelter. Eka sudah lepas terminal Tirtonadi. Penumpang tidak begitu bagus hari ini. Terminal sepi nggelondang. Kami dapat jatah parkir kurang lebih 30 menit. Itupun jumlah keterisian penumpang tidak sampai penuh. 40 kursi hanya terisi separuh. Hanya beberapa penumpang jarak jauh (Surabaya). Sisanya Sragen dan Ngawi.

Selesai mengkarcisi, saya kembali duduk di bangku kiri. Mengawal sopir, menjadi mata kedua.

Kami masuk Pungkruk, Sragen, melewati jalan lingkar Sragen.

Ternyata di depan kami masih terlihat bokong Eka yang seharusnya sudah berjarak cukup jauh dengan kami. Asu! Diganduli.

"Mbah, kae Eka sing mau ning ngarepe awake dewe to? Kudune rak yo wes adoh. Metune suwi kono." Saya ngomong ke sopir, Mbah Suroso. Begitu saya memanggilnya.

"Iyo, kudune wes adoh. Bajingan tenan. Tak oyake wae! Tak jake balapan!"

Mbah Suro mulai memacu bus dengan kencang dan agak agresif. Eka di depan kami merasa dikejar, ia juga ikut lari karena sadar seharusnya jarak dia dan kami agak berjauhan. Interval waktunya tidak sedekat ini.

Mbah Suro adalah salah satu sopir sess, alias sopir banter. Cara mengemudinya pun enak. Bisa mengemudikan bus dengan kencang bahkan ngebut, tapi tetap halus, smooth.

Saat kejar-kejaran dengan Eka yang ada di depan kami, mbah Suro dengan kecepatan tinggi menempel bokong Eka.

Jalan lingkar Sragen tidak begitu lebar. Hanya muat untuk 2 kendaraan besar. Ini memang jalan satu arah untuk kendaraan besar, tapi masih sering ada sepeda motor yang melawan arah. Hal ini menjadi rintangan bagi Mbah Suro saat akan mendahului Eka. Tidak bisa langsung goyang kanan memasukkan kepala bus untuk mendahului.

Kejar-kejaran masih berlangsung, saya tentu saja deg-degan. Saat mendekati tikungan tajam dan nekuk hampir seperti letter L, mbah Suro coba mengambil peluang mendahului.

Eka menurunkan gigi, mbah Suro juga menurunkan gigi. Setelah melewati tikungan L itu, mbah Suro memacu bus dengan beringas tapi tetap halus dan nyaman. Eka yang mencoba "melarikan diri" berhasil kami tempel bokongnya.

Mbah Suro langsung goyang kanan, memasukkan kepala bus dan meraih seperempat badan Eka. Eka mencoba ikut goyang kanan karena di depannya ada truk trailer yang menghalangi jalannya. Karena ini jalur sempit, tidak bisa langsung asal goyang kanan.

Masih dalam posisi kejar-kejaran dengan kecepatan tinggi, kami sudah hampir menjangkau separuh badan Eka. Eka urung untuk goyang kanan karena posisinya sudah terjepit.

Dengan jarak antara kami dan Eka yang tipis, dengan kecepatan tinggi kami berhasil mendahului Eka.

Target mbah Suro, target kami, adalah mendahului Eka agar jangan sampai mencapai Pilangsari lebih dulu dan itu sudah tercapai.

Kenapa kami harus bersusah payah mendahului Eka yang "nggandoli" kami supaya kami sampai Pilangsari lebih dulu? Jawabannya ialah peluang mendapatkan penumpang. Sekali lagi, peluang.

Pilangsari merupakan kantung penumpang di wilayah Sragen, menuju arah timur, Surabaya.

Perjuangan balapan dengan risiko tubrukan untuk sampai di Pilangsari lebih dulu, ternyata hanya diganjar dengan memenangkan peluang tapi hampa penumpang. Haha.

Saat balapan, posisi saya memang agak miring-miring, bersiap-siap kalau benar-benar terjadi tubrukan. Medeni tenan.

Setelah melewati Pilangsari, di daerah Paldaplang, Mbah Suro berbicara ke saya.

"Koe mau nyapo miring-miring, Jib? Koyo arep mencolot. Wedi ye?"

"Haiyo wedi, mbah. Nempel tipis ngono je."

"Halah, kondektur dijak balapan ngono ae wedhi."

"Aku rung rabi je, mbah!"

"Hahahaha" dia tertawa lebar, dan puas.

Saya cuma mbatin "asu".

***

Keesokan harinya, saya bertanya ke Mbah Suro, sopir saya.

"Mbah, nek wingi kae Eka-ne mekso nganan, terus tubrukan pye Mbah?"

"Yo, rapopo." Jawabnya santai

"Asu." Batinku.

Dia santai, aku deg-degan. Aku rung rabi, Mbah!

You Might Also Like

0 comments