Mengemudi dan Upaya Menyembuhkan Diri



Bulan lalu saya mengalami kondisi di mana emosi saya semacam terganggu. Agak labil dan agak gimana gitu. Tak perlu diceritakan secara detail lah ya. Akibatnya, saya mengalami kecemasan, kesulitan fokus dan konsentrasi. Singkatnya, otak dan jiwa saya memang benar-benar butuh penyegaran, hiburan, serta butuh latihan.

Setelah dari Surabaya menumpang Indonesia, memacu adrenalin, merontokkan serpihan-serpihan hati yang masih menusuk dada, saya memang bermaksud pergi ke Demak. Lalu mampir ke Kendal berkunjung ke beberapa saudara, sekaligus menziarahi makam ibu saya di sana.

Biasanya, dari Demak ke Kendal saya menunggang motor. Motor Yamaha Juliet, maksud saya Jupiter Z(1) yang saya kendarai dari Jogja. Tapi itu kondisional. Kalau pas ingin saja "lari-lari" pakai itu motor. Seringnya sih, naik bus milik Haji Haryanto. Bayar 60ribu, bisa numpang ngorok dan tanpa disadari sudah tiba di depan pasar Bintoro Demak.

Kalau tidak membawa motor dari Jogja, sering saya ke Kendal dengan motor pinjaman milik bulik, atau sepupu saya. Tapi kali ini saya ingin yang lainlah. Saya pinjam mobil om saya. Xenia generasi pertama, sedikit gemuk dan cebol. Otak dan jiwa saya butuh hiburan, butuh latihan. Makanya saya pakai itu mobil. Mobil dengan sentuhan loreng Pemuda Pancasila.

Jika ibu-ibu mencari hiburan dengan berbelanja di pasar hingga lelah, atau embak-embak milenial menyegarkan pikirannya dengan ngemall sampai gempor, maka saya punya cara sendiri untuk mencairkan kebekuan jiwa. Halah!

Setiap orang memiliki cara berbeda untuk mengembalikan kesegaran jiwa. Salah satu cara yang saya lakukan ialah mengemudi. Iya, mengemudi. Mengemudikan kendaraan roda empat atau lebih hingga lelah. Seperti halnya ibu-ibu dan embak-embak tadi, mengemudi bisa menjadi "lantaran" atau penyaluran emosi. Lelah, itu hanya efek samping. Kesenangan macan apa yang tidak melelahkan?

Tapi tunggu, ini bukan penyaluran emosi yang merugikan orang lain, ya. Kalau dipisuhi orang, dimaki-maki orang, mungkin bisa saja terjadi.

Kenapa megemudi? Kenapa musti nyopir? Mengemudi, nyopir, itu menuntut diri kita untuk fokus, konsentrasi, dan peka.

Pertama, fokus. Mengemudi menuntut kita memperhatikan satu titik di depan, yaitu jalan yang akan kita lalui. Kalau tidak fokus, mau kau bawa ke mana mobilmu Ferguso?

Kedua, konsentrasi. Walaupun sama-sama butuh konsentrasi, motor dan mobil jelas berbeda. Blind spot pada mobil jelas lebih luas, lebih banyak. Ini memerlukan kerja otak yang lebih. Otak kiri dan otak kanan harus selaras dan seimbang.

Mengendalikan mobil manual, membutuhkan gerak anggota badan kiri dan kanan. Semua bekerja. Oiya, ini mobil manual ya. Tidak berlaku untuk mobil otomatis.

Otak kiri, mengendalikan badan bagian kanan. Lampu sein di tangan kanan, gas di kaki kanan. Di sini logika bekerja.

Otak kanan mengendalikan badan sebelah kiri. Kopling di kaki kiri, transmisi di tangan kiri. Di sini emosi bekerja.

Lalu stir dipegang tangan kanan dan kiri dengan rumus "93", sembilan tiga. Tangan kiri pada posisi jam 9 dan tangan kanan pada posisi jam 3.

Ketiga, peka. Iya, peka. Peka dengan keadaan sekitar. Lebih tepatnya; peka yang cenderung memprediksi. Semacam memaksa diri untuk punya indera keenam begitu. Terutama pada kendaraan roda dua yang kadang tidak jelas ke mana arahnya. You know-lah... Sederhananya, waspada!

Sebenarnya banyak aspek yang bisa dibahas perihal mengemudi. Bagi saya, mengemudi, selain melatih otak, bisa menjadi upaya menyegarkan pikiran karena perjalanan adalah hal yang menyenangkan. Ini subjektif. Terlepas dari mengemudi sebagai sebuah profesi.

Kalau kamu juga mengalami hal yang hampir sama dengan saya, sekadar hiburan, bolehlah kita balapan. Siapa yang tiba duluan, dengan taruhan segepok uang, dari Jogja ke rumah bulik saya di Demak. Gimana? Saya pastikan saya yang tiba duluan.

You Might Also Like

0 comments