Malam Minggu Para Bujang Lapuk



Sudah menjadi kebiasaan kami, setiap sabtu malam atau akrab disebut malam minggu, merayakan malam yang menurut orang yang punya pasangan adalah malam bahagia. Bagi kami, ini malam untuk pesta. Ya, sekedar pesta para Bujang Lapuk. Pesta kecil-kecilan untuk "surungan" menertawakan diri sendiri.

Kantor travel tempat kami bekerja berada di tengah-tengah komplek pasar. Setiap malam minggu tiba, kami pasti berpesta. Jangan punya pikiran kami akan pesta  dengan mabuk-mabukan. Pesta kami lebih sangar dari itu. Pesta Indomie! Makan kenyang, hati riang.

Karena ini pesta, tentu saja Indomie itu kami masak dengan cara yang luar binasa spesial dan sedikit agak jahat. Iya, jahat.

Kami bertiga, Saya, Dobox, dan Bodhol merupaan tiga pria dengan tingkat doyan makan yang mumpuni. Tapi, dari kami bertiga hanya satu orang yang benar-benar tidak suka makan pedas, yaitu Bodhol. 

Sebelum kantor tutup, Dobox sudah berbelanja bahan-bahan pesta. Indomie goreng original, telur, sayur mayur, dan cabai rawit. Bahan terakhir ini yang kami gunakan untuk 'kejahatan'.

Sambil membawa beberapa kantung kresek, Dobox melenggang masuk, khas dengan senyum brengseknya. Kalau melihat senyumnya, saya yakin semua orang akan terkesima dan gemas ingin memukuli mukanya.

"Heh ndes, aku wis belonjo.” Katanya dari seberang lubang pintu ruang sebelah.

"Yo, Aku weruh."

Dobox terlihat sibuk membereskan bahan-bahan yang sudah dibelinya di warung-warung kelontong sekitar kantor. Sementara Bodhol masih sibuk bekerja dengan komputer  di depannya. Membuat laporan penjualan bulanan sekaligus dengan statistik penjualan tiket tiap-tiap maskapai penerbangan, beserta dengan insentif sekaligus komisi yang diperoleh perusahaan.

Tapi saya merasakan ada yang aneh di ruangan sebelah, ruangan jasa fotokopi dan penjualan alat-alat tulis tempat Dobox bekerja. Semacam tak ada kegiatan, setelah tadi ada suara plastik kresek yang dibuka-buka.

Saya menghampirinya, dia terlihat sedang duduk jongkok, membelakangi saya, dan sibuk melakukan sesuatu. Entah apa itu.

"Koe nyapo, ndes?"

Dobox menoleh dan cuma dibalas cengiran yang nggatheli, dan senyum geli, sekaligus tertawa yang ditahan. Kalau saya membayangkan senyum Dobox, ingin sekali saya belajar Muay Thai, agar bisa mendengkul mukanya dengan sempurna.

Saya mendekat karena penasaran. Tahu saya mendekat, dia langsung memberi kode untuk tutup mulut dengan melintangkan pisau di mulutnya.Ternyata dia sedang mengiris cabai rawit hijau segar yang cukup banyak.

"Eh... cangkemu menengo ndes. Tak ngiris lombok sik sing akeh. Ngko tak umpetne. Nek pas masak, ngko ngerajang ning omah sithik wae. Ben Bodhol ngertine lomboke saithik." Dobox mengatakan itu sambil berbisik-bisik.

"Jancok...." jawab saya singkat, dan nyengir. Lalu beranjak menuju meja kerja.

Saya sudah membayangkan apa yang akan terjadi nanti, dan tentu saja keesokan hari. Ada yang akan menderita malam ini, juga esok pagi hari. Ada yang bahagia malam ini, juga esok hari. Sudah pasti akan ada yang misuh-misuh entah malam ini, atau besok pagi. Dan ada yang akan dipisuhi malam ini, atau besok pagi. Saya, antara ingin ketawa dan mendukung ide jahat Dobox untuk mengerjai satu orang ini.

Perusahaan menyediakan rumah setengah jadi untuk karyawan. Walaupun belum jadi seratus persen, di situ sudah disediakan fasilitas dapur, kamar mandi, dan satu kamar dengan satu unit AC yang bisa mendinginkan tiga bujang lapuk yang syumuk.

Yang tinggal di situ, hanya Bodhol dan Dobox. Saya masih ngekos. Khusus hari minggu, saya masuk pagi karena libur kuliah. Daripada harus kembali ke kos tengah malam, lebih baik menginap di ‘mess’. Lagipula, jika tidur di kos belum tentu saya bisa bangun pagi. Tapi di mess, sudah pasti Dobox yang lebih dulu bangun di pagi buta. Secangkir kopi dengan air mendidih dan rokok di tangan, sudah pasti menemani paginya. Tapi dengan bunyi alarm dua biji telepon genggam yang suaranya bikin katak-katak di sungai sebelah mess merasa punya saingan. Berisik!

Rencana Dobox berjalan mulus. Kami bertiga memasak, masing-masing sudah punya tugas. Saya menyiapkan bahan dan wadah, Dobox yang merajang dan memasak, Bodhol yang menjadi supervisor, membantu Dobox sekaligus menjadi pengawas jumlah cabai yang akan dicurahkan demi keamanan mulut dan juga perutnya. Karena dia tahu, saya dan Dobox adalah penyuka pedas. Jadi dia harus ekstra hati-hati seandainya Dobox khilaf memasukkan cabai ke dalam wajan.

Dari kami bertiga, Bodhol orang yang paling ahli soal masak-memasak. Maklum, dia alumni sebuah restoran yang cukup populer di Bandung. Mulai urusan dapur hingga ‘front liner’, dia sudah khatam.

"Lomboke semene, yo ndes?"

Dobox menyodorkan cabai rawit merah segenggaman tangannya kepada Bodhol.

"Kakehan kui, ndes! Kurangi! Mangan kok nyikso. Iki ki mangan, dudu penyiksaan." katanya dengan nada sedikit marah.

"Yo, tak kurangi ndes. Rasah nesu." jawab Dobox dengan mengurangi jumlah cabai di tangannya.

"Iki delok maaatanem, sing tak rajang semene. Saitik." kata Dobox dengan logat Bojonegoronya yang kental. Ia merajang cabai dan memasukkannya ke wajan yang sudah berisi Indomie yang sedang dia goreng. Saya mengamati pertengkaran mesra dua bujang lapuk ini, tiga termasuk saya. Kisah ini, aktor utamanya adalah mereka berdua. Saya hanya figuran, dan kadang-kadang menjadi gong untuk pertengkaran-pertengkaran nggatheli mereka berdua.

Sejak awal mula proses memasak, setelah indomie selesai direbus dan menuju proses penggorengan, saat Dobox mulai menumis bawang, mengocok telur, serta memasukkan telur, entah kapan dia memasukkan cabai yang sebelumnya sudah dia rajang di kantor. Dan itu jumlahnya lumayan. Dia mencampur cabai rawit hijau, dan merah. Cabai rawit merah yang dirajang tadi hanyalah sebuah pengalihan untuk menutupi cabai rawit hijau yang menjadi senjata utama. Lalu ditambah dengan sayur-mayur hijau yang semakin menutupi, memperkeruh, serta menyamarkan keberadaan cabai rawit hijau itu.

Indomie pujaan kami sudah matang, sudah siap dihidangkan. Kami tak perlu piring. Kami hanya perlu sendok, keset, dan ruang tamu yang ukurannya tidak seberapa luas.
Kami duduk lesehan, dengan wajan penuh indomie yang kami kelilingi bertiga. Melingkar. Semua sudah siap. Masing-masing orang sudah memegang sendok.

“Ayo dimulai, to.”  Bodhol memulai pembicaraan di depan indomie goreng yang masih beruap dan beraroma menyengat. Dia semacam pemimpin tahlil yang mengajak jama’ah untuk tawassul lebih dulu.
“Yo ayo to ndes.” Dobox menimpali dengan membenamkan kepala sendok ke dalam wajan yang penuh indomie itu. Saya menyusul dengan memulai menyendoki indomie dari pinggiran wajan.

Beberapa suap sudah melewati kerongkongan saya. Mungkin juga beberapa suap lebih banyak sudah melewati kerongkongan Dobox, bahkan sudah masuk ke dalam lambung dan usus besarnya. Baru beberapa suap itu pula, Bodhol mengangkat bicara.

“ASU! Iki mau lomboke piro, ndes?? Pedes tenan, CUK! Mukanya merah, matanya berkaca-kaca. Wajahnya mengkilap dan berkeringat. Ia berdiri menuju dapur mengambil minum.

“Lomboke saitik, ndes. Mau matanem yo weruh aku ngerajang lombok sepiro.” Dobox mencoba meyakinkan Bodhol.

“Halah ndes..ndes.. iki ra patek pedes.” Kata saya membela indomie

“ora pedes, matamu! Ora mungkin nek lombok semono mau pedese koyo ngene. Iki mesti lomboke luwih akeh. Aku yakin iki. Asu tenan! Cuk!”. Bodhol kembali dengan air minum, dan sebotol kecap.

Bodhol menuangkan kecap di atas indomie goreng yang ada di ‘wilayah’nya. Terlihat perjuangannya mengisi perut yang lapar dengan cobaan rasa pedas yang membakar baginya. Menuangkan kecap, menyendoki indomie berkecap, lalu menyuapkannya ke dalam mulut. Begitu seterusnya hingga sebotol kecil kecap itu tinggal seperempat. Saya dan Dobox makan seperti biasa tanpa dosa.

Kami bertiga kenyang, menyerah dengan porsi indomie goreng Godzila. Indomie dalam wajan itu Dobox kembalikan ke atas kompor. Esok pagi hari, indomie itu sudah dihangatkan oleh Dobox, dan dibawa ke kantor dan disantap oleh beberapa teman kantor.

“Mie gorenge enak, mas.” Kata seorang karyawati kantor kepada saya.

“Yo enak, sing masak Dobox.”

“Wetengku panas, ndes. Asu tenan!” Bodhol menyambar dengan cocotnya!

Saya cuma bisa nyengir kuda.

Hingga cerita ini ditulis, ‘korban’ belum pernah tahu berapa jumlah cabai yang masuk ke dalam wajan itu. Termasuk saya. Yang saya tahu, jumlahnya banyak. Itu saja.  



You Might Also Like

0 comments