Uji Kesaktian Berakhir Ambyar


Jam dinding di tembok kantor agen masih menunjukkan pukul 06:30. Semalam kami tiba sekitar jam 00:30. Ya, masih punya cukup waktu untuk istirahat setengah malam. Masih bisa melemaskan badan.

Pagi ini terminal Purbalingga nampak cerah. Angkot-angkot dan bus lokalan sudah banyak yang keluar masuk terminal. Calon-calon penumpang sudah mulai hilir mudik di sekitar terminal. Warung-warung yang menyediakan makanan dan gethuk goreng juga sudah mulai banyak yang buka. Agen-agen penjual tiket bus juga sudah banyak yang membuka lossnya. Apalagi, kantor agen PO bus saya, selalu buka 24 jam. Karena memang pintunya tidak pernah ditutup oleh yang punya. Dibiarkan begitu saja. Kami; saya dan sopir memang sering tidur di kantor agen saat dinas trayek Purbalingga. Sudah disediakan kasur Palembang dan beberapa biji bantal. Sedikit lebih nyaman dibandingkan tidur di dalam bus atau di...bagasi bus.

Cuaca cerah tapi agak dingin pagi ini tetap memaksa saya untuk mandi. Mandi adalah satu keharusan dan karunia yang cukup langka. Lha iya, untuk kru lain yang jamnya mepet, jangankan untuk mandi, untuk kencing saja susah. Untuk kru macam kami yang jam istirahatnya cukup dan turah ini, ya harus mandi. Meskipun harus bayar duaribu.

Saya berjalan santai menuju toilet umum yang berada dai sudut terminal. Berkalung handuk, menenteng kantong kresek berisi peralatan mandi, sesekali melihat-lihat keadaan sekitar sekaligus cuci mata. Untuk ukuran terminal kecil, terminal Purbalingga termasuk terminal yang ramai dan meriah.

Jangan berharap banyak soal toilet di sini. Bisa melunasi hajat sekaligus mandi saja sudah bagus. Kru memang harus pintar memenej buang air, terutama berak. Karena jika sudah dijalan, tidak mungkin bisa untuk berak sembarangan. Mau berak di mana? di pinggir jalan aspal? Bus kami memang memiliki toilet, tetapi itu hanya digunakan untuk buang air kecil alias kencing. Haram untuk berak!

Setelah ritual pagi yang gerakannya itu-itu saja, saya kembali menuju kantor agen. Tentu saja setelah membayar duaribu rupiah untuk ritual yang kurang lebih limabelas menit itu. Ya, limabelas menit untuk berak dan mandi.

Sebelum menuju agen, saya singgah sebentar melihat kondisi bus. Mulai bagian luar; cek bagasi, cek peralatan untuk ngeban seperti dongkrak dan setang-setangnya. Lalu melihat bagian dalam bus, memeriksa kebersihan, memastikan air toilet tersedia. Lalu menyalakan mesin untuk warming-up, kemudian menyalakan pendingin udara. Setelah itu saya kembali ke kantor agen, dan membiarkan bus itu panas dengan sendirinya.

Saya mendapati sopir saya sudah bangun, sudah duduk di belakang meja yang berada di teras.

"Wes tangi, mbah?" tanya saya.

"Yo wis nu, genah wis metengkreng ning kene."

"Tak kiro bablas ra tangi"

"Lambemu." jawabnya sedikit kesal

Saya meraih ransel, mengeluarkan seragam dan memakainya. Lalu menyiapkan berkas-berkas untuk perjalanan. Berkas-berkas, endasnya! haha. Ya biar terlihat keren saja. Saya menyiapkan; karcis, lembar stat(istik) penumpang, manifest agen, dan kupon makan. Semua harus sudah siap sebelum perjalanan.

Ketika sedang merapikan kembali barang-barang milik saya ke dalam ransel, datang seseembak berkerudung, berbaju lengan panjang kotak-kotak hitam bergaris putih, dengan bagian bawah baju yang menutup bokong, serta bercelaan jeans biru mengantar kopi ke meja agen. Saya tanya ke sopir saya.

"Aku gak mbok peseno kopi pisan, mbah?"

"Gak."

"Wo... "

"Kopi satu lagi ya, mbak." pinta saya kepada si embak yang cantik ini, yang cuma dibalas senyuman manis dan sedikit kata "iya,"

Bentuk wajahnya bulat, dengan make up tipis natural, dengan bibir yang merah muda tanpa lipstik.

Saya duduk di kursi depan meja, menanti kopi yang dibuatkan si embak ini. Sebut saja Mbak, ya? Mbak ini yang berjualan kopi dan pulsa di sebelah kantor agen, persis sebelahan. Mbak tidak sendiri, yang asumsi saya, itu adalah ibunya yang setiap hari berjualan gethuk goreng dan oleh-oleh khas Banyumasan. Mbak ini biasa membantu ibunya, maksud saya, asumsi saya itu ibunya.

Kopi pesanan saya diantarkan, "sini ya, mas?" ucapnya sambil meletakkan secangkir kopi hitam di depan saya, lalu melempar senyum yang manisnya luar biasa. Menurut saya, si Mbak ini cantik, ramah, murah senyum, dan istriable pokoknya. Bagaimana tidak? Seorang anak perempuan yang bisa membantu ibunya itu pasti layak dijadikan istri. Ya, namanya juga mimpi kondektur di pagi hari. hahaha

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 07:30, sudah saatnya kami berangkat. Berkas sudah siap, bus sudah siap. Sopir sudah melangkah lebih dulu menuju bus yang terparkir. Saya totalan dulu dengan agen perihal penumpang dan jumlah uang setoran ke kondektur. Setelah selesai, saya keluar agen.

Saya melempar senyum ke Mbak, dan dibalas senyum. Eh, ternyata di belakang si Mbak, ada si Ibu yang juga memperhatikan dan memberi senyum dari dalam warung oleh-oleh itu. Saya balas senyum Ibu itu dan pamitan.

"Saya berangkat dulu ya, bu."

"Nggih, mas. Hati-hati."

Lalu saya pamitan juga ke si Mbak, "Berangkat dulu, ya"

"Eh iya, mas." Dia agak terkejut karena sedari tadi tangannya tak lepas dari gawai. Dia tersenyum manis dengan tangan yang masih setengah menggenggam gawai.

Pagi ini saya berangkat dengan suasana hati yang aneh, semacam ada rasa deg-degan di dada tapi.. ah, tailah!

***Bersambung.






You Might Also Like

0 comments