Sumber Selamat |
Sumber Selamat, saya naik dari terminal Giwangan Yogyakarta
dengan tujuan Mojokerto. Berangkat hanya berisi lima orang. Tiga orang kru;
sopir, kernet, dan kondektur. Sisanya dua orang adalah penumpang, saya salah
satunya. Saya duduk di baris depan,
persis di belakang sopir.
" wes budhal ae, ngkok ndek solo ae cek rodok suwe lerene".
Begitu kata si Sopir sambil mengendalikan laju bus keluar dari terminal Giwangan.
" wes budhal ae, ngkok ndek solo ae cek rodok suwe lerene".
Begitu kata si Sopir sambil mengendalikan laju bus keluar dari terminal Giwangan.
Tiba di Solo 02:45, dini hari
Bus ini masih menunggu antrian mengisi penumpang. Berbaris rapi seperti upacara bendera di
senin pagi. Terminal Tirtonadi dinihari
sudah ramai oleh calon penumpang. Bus-bus Hino AK meraung-raung menandakan mereka sudah siap melaju, mengaspal, dan berlari mengangkut penumpang. Bukan mengejar setoran.
Si Sopir masuk ruang kemudi melalui pintu sisi kanan depan bus.
Menatap ke arah jejeran bangku penumpang, lalu duduk di kursi pengemudi. Dia lalu meletakkan handuk yang
sedari tadi mengalungi lehernya di dashboard persis di depannya. Menutupi speedometer. Kemudian
mengambil kain lap di bagian lain dashboard, lalu mengelap kemudi dengan pola
melingkar. Setelah dirasa bersih dan kesat dia
melemparkan lap tadi ke depan, persis antara kaca depan dan dashboard.
Dia melihat spion kiri, lalu kanan. Sambil sesekali
membleyer dan membunyikan klakson yang keras itu sebanyak dua kali, pendek-pendek,
tanda bus akan dia berangkatkan. Kondektur naik lewat pintu belakang, kernet
masih di bawah memastikan kondektur sudah naik, sementara dia masih di bawah. Sopir lalu
memasukkan gigi mundur. Tuas persnelingnya panjang. Perlahan bus itu mundur,
sopir melihat spion kiri dan kanan memastikan tidak ada yang menghalangi
jalannya ketika mundur, dibantu kernet yang memberi aba-aba. Kernet naik.
Sopir mengoper gigi maju, sudah melepas kopling setengah, kernet berteriak:
“melok melok, enek sing melok”.
Seketika sopir menginjak kopling dan rem, bus berhenti. Kernet turun. Sopir menetralkan posisi gigi dengan kaki kanan masih menginjak rem.
“melok melok, enek sing melok”.
Seketika sopir menginjak kopling dan rem, bus berhenti. Kernet turun. Sopir menetralkan posisi gigi dengan kaki kanan masih menginjak rem.
Tampak bapak bapak tergopoh-gopoh menggendong anak kecil
seusia 3 tahunan mendekat menuju pintu depan bus. Antara jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya
masih menjepit sebatang rokok yang sisa separuh. Tangan kirinya membopong anak
laki-lakinya, punggungnya menggendong tas ransel warna hitam berukuran sedang.
Anak laki-lakinya tampak murung saat sudah berada di depan pintu
bus. Dia menunduk semacam tidak setuju dengan pilihan bapaknya naik bus itu. Kernet
menunggu di belakang bapak calon penumpang itu.
Bapak itu, mengarahkan tangan kanannya yang antara jari telunjuk dan jari tengah masih menjepit sebatang
rokok, membujuk anaknya yang masih tertunduk dalam gendongan lengan tangan kirinya.
“numpak iki ya?” begitu tanya bapak itu kepada anak laki-lakinya.
pertanyaan itu dijawab gelengan kepala
sambil tertunduk oleh anak laki-lakinya.
Si Sopir dengan tangan kiri masih menggenggam persneling
yang sudah dalam posisi siap mengoper gigi maju, tangan kanan masih menggenggam stir, kaki
kanan menginjak rem, kaki kiri bersiap menginjak kopling, melihat kearah bapak itu yang masih membujuk
anaknya.
“tumpakno sing kae wae pak. Sing apik, sing ono Acne." Kepalanya mmenoleh menunjuk ke arah kanan jendela bus, yang di sana terparkir bus ac tarif biasa menunggu jatah jalan dan penumpang setelah bus ini. "Mesakno anake sampean nek numpak iki." Lanjut si Sopir.
Si Sopir dengan logat jawa timuran, yang melihat kejadian negosiasi yang tak membuahkan hasil itu. Sopir tidak memedulikan “uang” yang seharusnya dia dapat dari penumpang ini. Dia lebih mementingkan perasaan anak kecil dalam gendongan bapaknya. Dia laki-laki, dia juga ayah untuk anaknya. Dia paham betul perasaan anak laki-laki itu dari raut wajahnya. Ada perasaan kecewa dan tidak suka.
Jika saya adalah anak kecil itu, maka saya tentu akan kecewa jika
diajak bapak saya naik bus yang menurut saya jelek. Tidak menarik. Saya lebih
suka dengan bus yang rapat, tidak ada jendela tempat masuknya angin saat bus
melaju. Bus dengan ac yang dingin.
Bapak itu tidak jadi naik, dia memundurkan langkahnya.
Kernet naik, sopir pun menginjak kopling, memasukkan gigi maju, entah gigi
berapa saya tidak tahu. Sepertinya gigi dua. Melepas kopling perlahan sembari
menginjak gas perlahan hingga dalam. Sopir dan bus melaju meninggalkan Bapak
itu. Mendekati pintu keluar Terminal tirtonadi, supir menghidupkan exhaust brake untuk melambatkan laju bus.
Bus keluar terminal
Bus keluar terminal
Pada akhirnya Bapak itu mengalah kepada anak laki-lakinya. Memberikan
rasa nyaman seperti dalam benak anaknya, mengorbankan rasa nyaman dirinya
sendiri karena tidak bias merokok.
Bus semakin jauh meninggalkan terminal Tirtonadi.. juga
bapak dan anak laki-lakinya itu.
0 comments