Sebagai Lelaki, Aku Kurang Romantis Bagaimana?



Sebagai laki-laki, aku kurang romantis bagaimana?


Kuda besi matikmu, yang waktu kupinjam terasa geal-geol saat kukendarai terutama ketika mengerem agar berhenti, kubawa ke bengkel untuk dipijati. Diperbaiki agar nyaman dan aman saat kau kendarai. Tanpa kau minta, atau menunggumu celaka.


Kau menghabiskan waktumu hampir setengah malam hanya ingin bersamaku, menemaniku bekerja. Tengah malam usai kerja, aku sedikit memaksa mengantarmu pulang walau harus jalan melintang ke utara lalu kembali ke selatan. Memastikan kau pulang dengan selamat di rumah yang kau sewa itu. Aku tidak tega kau pulang ditengah malam sendirian.


Aku selalu mengajakmu makan ke tempat-tempat sederhana. Memesan banyak porsi agar bisa kita habiskan berdua. Ya, berdua. Mau mengeluarkan uang berapapun, selama di tempat makan tradisional aku tidak keberatan. Karena di situ ada cerita yang pasti berbeda di tiap tempat makan yang kita singgahi. Ada cita rasa yang berbeda pula di tempat-tempat itu. Tidak ada cerita dan citar rasa berbeda jika aku mengajakmu ke tempat makan waralaba.


Ingat saat kau menginginkan boneka monyet itu? Di suatu siang aku mengajakmu keluar mencari boneka keinginanmu itu. Sayangnya di hari itu kita belum menemukannya. Setelah itu aku masih berusaha menemukan boneka itu untukmu, menyisihkan sebagian uang untuk itu, namun gagal karena tergeser oleh cicilan. Hingga akhirnya kau memberikan boneka monyetmu untukku, yang justru menjadi kenang-kenangan untukku. Kenang-kenangan yang menyakitkan tentunya.


Waktu aku menjadi sopir yang kau sewa untuk liburanmu beserta keluargamu, kau pasti ingat. Memasuki Wonosobo sudah hujan lebat. Lalu kita tiba di telaga warna Dieng, di sana gerimis. Tetesan-tetesan air di atmosfer membelokkan cahaya matahari yang membias berpindah dari satu medium ke medium lainnya, hingga terciptalah pelangi. Warna-warni.


Aku beranjak naik menuju atas bukit yang kalau tidak salah bernama bukit Pengilon. Aku tidak sampai puncak. Aku hanya ingin sedikit menyingkir darimu, meluapkan kesedihan seorang pria yang pasti tidak akan pernah kaurasakan. Bersama rintik hujan, pelangi, jalan setapak dan semak-semak pepohonan, aku menitikkan air mata. Aku ingin berteriak tapi takut ketahuan olehmu kalau aku sedang tertekan. Jadi aku urungkan niatku untuk berteriak. Itu pelangi yang bisa kita lihat sama-sama tapi tak bersama.


Lalu aku turun. Memasang wajah seperti tak terjadi apa-apa, dan berbicara over percaya diri hanya untuk menutupi rasa pedih hati. Air mataku dilindungi air hujan, seakan tahu aku berusaha menutupi kesedihanku karena kau akan meninggalkanku dan memilih menikah dengan pria itu. Pria yang “yakin dan nggak yakin” menurutmu.


Dalam perjalan pulang, kau lebih banyak berbicara. Menanyaiku hal apa saja yang menurutku itu tidak terlalu penting. Obrolan kita lebih mirip obrolan tidak berguna yang sepertinya hanya untuk mengisi kekosongan. Kauingin membuat perjalanan ini tidak sunyi senyap, menghindarkan aku dari kantuk saat mengemudi, atau sekedar basa-basi yang berusaha menghiburku karena kau tahu hatiku pasti hancur? Hingga akhirnya adikmu Zeny muntah-muntah karena mabuk darat di sekitar Salaman, Magelang.
Esoknya kau ke tempatku dengan membawa boneka monyet yang kausebut Momo itu. Dengan senyum khasmu, yang pada hari itu aku tidak bisa menerka seperti biasanya. Senyummu seperti senyum bahagia karena sudah menghancurkan hatiku atau bagaimana? Senyummu yang aku tahu adalah senyum bahagia saat menatapku dari balik kaca kantor yang mirip akuarium itu.


Oiya, aku ingat tragedi mie ongklok saat di rumah teman ayahmu! Sebelum makanan itu datang, aku sudah bergunjing soal itu kepada adikmu dan pacar adikmu. “Ini nanti, mbakmu pasti mengatakan kalau mie ongklok ini rasanya aneh”. Benar saja, suapan pertama kau sudah menunjukkan ekspresi ketidaksukaanmu, dengan senyum yang membuat wajahmu jadi bulat, tulang pipimu jadi tampak membesar, dan kedipan-kedipan matamu yang tak beraturan karena merasa aneh dengan cita rasa mie ongklok.


“Itu…. benar kan? apa kataku tadi.” Begitu pernyataan yang aku lontarkan di “forum” mie ongklok itu. Aku seperti lebih mengetahui dirimu daripada dirimu sendiri.


Sampai saat ini, aku masih bertanya sebenarnya sebagai laki-laki, aku kurang romantis bagaimana di matamu?


Sebelum aku kausewa menjadi sopir yang mengantarmu ke Wonosobo, kira-kira sebulan sebelumnya kau ke tempatku. Kita berbica panjang lebar soal kau yang akan menikah. Lebih tepatnya kita berdebat dan beradu argumen.


Alasanmu menerima pinangannya hanya karena “dia mau main ke rumahmu.” Sedangkan aku kauanggap pria pengecut yang tak berani main ke rumahmu. Aku tersenyum sinis saat kaubulang begitu. Oiya, itu bukan sebulan sebelumnya, tapi kira-kira di bulan Januari atau februari 2017.


Aku bilang padamu; bukan aku tak berani main ke rumahmu. Kalau hanya sekedar main, aku lah iso. Tapi aku ingin main ke rumahmu dengan mengajak om-om dan bulik-bulikku. Kenapa tidak orang tuaku?


Di bulan desember 2016 aku sudah punya rencana di awal tahun 2017 nanti, di bulan Januari, aku ingin mengajak mereka ke rumahmu, melamarmu. Aku memang sengaja tidak pernah memberitahumu, bahkan memberikan kode-kode jika aku ingin melamarmu pun tidak. Untuk wanita yang aku cintai, aku bahkan tidak sanggup untuk mengucapkan sepatah kata pun yang berunsur “aku mencintaimu”. Aku hanya mampu bersikap hiperaktif dan kekanak-kanakan saat berada di sekitarmu. Jika kauingin tahu takaran rasa cintaku padamu, kaubisa merasakan itu saat bertemu ibumu. Tahu betapa bahagianya kan? Kau wanita kedua yang kucintai setelah ibuku.


Saat itu kondisi kesehatan ibuku sedang tidak bagus. Rencanaku adalah mengajak om dan bulikku. Om dan bulikku adalah orang-orang yang mewakili orang tuaku. Alih-alih aku yang memberi kejutan padamu, aku yang terkejut karena kau menerima lamaran orang itu. Jika kau memang mencintaiku, seharusnya kautanyakan padaku lebih dulu perihal lamaran itu. Setidaknya kau memberitahuku. “Mas, aku dilamar orang. Kamu gimana?”, paling tidak ada ucapan seperti itu yang aku harapkan. Kau hanya menanyaiku melalu aplikasi BBM dengan kalimat seperti anak SMP yang sedang pacaran “mas, kamu sayang nggak sih sama aku?”, dengan sekenanya aku jawab chat BBMmu  “enggak”, hahaha. Aku anggap itu adalah pertanyaan lelucon yang tidak lucu tapi bisa membuatku tertawa


Aku tidak sayang padamu, tetapi lebih dari itu. Aku mencintaimu dengan penuh rasa sayang. Meskipun aku sering “ngosek” kepalamu yang benjol-benjol bawaan lahir itu. Jika itu adalah pertanyaan yang menurutmu serius, lebih elok jika kau bertanya padaku langsung dengan bertatap muka. Bukan melalui BBM!


Dalam posisi ini, aku juga salah. Sekarang kita hanya bisa menikmati penyesalan-penyesalan yang entah kapan penyesalan ini sudah tak terasa lagi.


Sebagai laki-laki, aku ini kurang romantis bagaimana?

You Might Also Like

0 comments