Kemewahan


Suatu sore, saat libur, sehabis mengecek kondisi interior bus, saya duduk-duduk santai di depan kantor garasi. Melihat bus-bus yang baru pulang, sopir-sopir yang sudah ndledek menahan kantuk dan mencari sopir langsir, para kernet yang menunggu sopir langsir, kondektur-kondektur yang bersiap-siap mengurus administrasi dan setoran. 

Menyaksikan bus-bus roster tiga yang siap diberangkatkan. Para sopir yang mulai naik ke ruang kemudi, menyalakan mesin, meletakkan handuk di depan dashboard, para kernet yang mengisi air radiator, mengelap kaca depan dan kaca spion. Kondektur-kondektur yang sudah siap dengan bergepok-gepok karcis. 

Garasi memang tidak pernah sepi. Dua puluh empat jam selalu sibuk. Hilir mudik bus keluar masuk, pergi pulang, begitu terus setiap hari. 

"Lho, nggak jalan ta?" tegur seseorang yang tiba-tiba duduk di sebelah kanan saya.

"Libur, pak. Lha sampean nggak jalan?"

"Aku juga habis libur. Mungkin besok jalan" 

"Sama, pak. Besok saya jalan juga."

Beliau adalah salah satu kondektur senior di sini, berasal dari Jember. Namanya Pak Didik. Saat saya kesulitan mengerjakan administrasi setoran, beliaulah salah seorang yang dengan sukarela mengajari dan membantu. Mengajari perlahan-lahan dan dengan cara yang benar-benar mudah sekali saya pahami. 

Saya lalu duduk agak mendekat ke beliau, lalu membuka obrolan agak serius. 

"Pak, sampeyan pernah dibujuk sopir untuk ngeblong karcis?"

Saya menempelkan lengan ke lengan beliau, dan sedikit menundukkan kepala, mendekatkan kepala saya ke beliau. 

"Siapa sopirnya, mas?" 

"Pokoknya ada lah, pak. Nggak usah aku kasih tahu."

"Lha terus, kamu gimana? Kamu turuti?

"Enggak, pak. Aku cueki. Aku biarkan aja."

Beliau diam sebentar. 

"Aku juga dulu pernah dapat sopir yang begitu, mas. Maunya nyuruh ngeblong penumpang. Aku langsung bilang: 'Kenapa harus diblong? Bayaranmu kurang? Kalau kurang, ini uang makanku ambil aja!', aku gitukan mas. Diam dia  Padahal, kalau kena kontrol, itu kita kondektur yang nanggung," Saya manggut-manggut, 

"kita yang kena klaim. Mereka nggak" lanjut beliau.

Pendapatan kami dan mereka yang seprofesi tergantung berapa banyak penumpang yang bisa kami angkut. Karena dari situlah prosentase pendapatan kami dihitung.

Pendapatan kami mungkin tidak seberapa. Tapi kami masih bisa menikmati kemewahan yang bernama; kejujuran. 





You Might Also Like

0 comments