Pagi buta saat matahari belum tinggi-tingginya, Bodhol sudah bangun dan sudah melakukan sesuatu yang saya tidak tahu. Ini hari minggu, saya berpikir untuk bangun siang dan malas-malasan. Dasar sial, mentang-mentang dia tidur lebih awal dan bangun lebih pagi, saya jadi tumbal. Cuk!
“ndes, ayo sarapan!”
dia membangunkan saya seperti orang kebakaran jembut. Penyakit orang yang biasa bangun siang lalu tiba-tiba bangun kepagian ialah lapar mendadak seperti itu.
Saya yang masih setengah sadar dan masih ngantuk menjawab pertanyaan itu. Kalau saya tidak menjawab, atau pura-pura tidur, Bodhol pasti akan lebih senang mengganggu saya. Apapun akan dilakukan supaya saya bangun dan memenuhi ajakannya.
“sarapan opo, ndes? Jam semene ki arep sarapan opo?” saya menjawab dengan mata terpejam. Perpaduan kantuk dan berpikir mau makan apa pagi-pagi seperti ini. Saya masih belum ingin makan. Saya ingin tidur sampai siang!
“opo wae, sing enak. Ayo ning ndi yo?” Jancuk, lagi-lagi saya yang harus berpikir sambil tidur hanya untuk menentukan sarapan di mana. Seharusnya dia yang sudah bangun dari tadi yang berpikir dan menentukan sarapan apa dan di mana.
“Sarapan soto wae” saya menjawab dengan mata masih terpejam dan miring menghadap tembok.
“Soto ndi sing enak yo, ndes?” asu! lagi-lagi saya yang harus mikir. Sambil merem, saya mencoba mengakses peta lokasi makanan yang ada di otak milik saya sambil membayangkan soto mana yang enak di saat-saat pagi begini, dan yang pasti dengan harga murah.
“Soto sewu ngarep UMY wae, ndes” saya menjawab dengan mata masih setengah merem. “eh, tapi iki minggu. Kono tutup.” Saya melanjutkan dengan mata yang ¾ terbuka.
“ayo ning ndi?” Bodhol bertanya dengan mendesak. Lalu tiba-tiba saya teringat satu tempat makan soto yang cukup enak bagi lidah saya dan teman-teman.
“Ayo ning soto pak Tur wae” saya menjawab pertanyaan yang mendesak itu. Saya menduga dia sudah benar-benar lapar.
“yo ayo, mangkat saiki!”
“yo sek to ndes... tak raup-raup sek” saya bangkit dan beranjak ke kamar mandi. Kencing dan cuci mata. Membersihkan sisa-sisa mimpi yang mengerak di sudut-sudut mata ini. Aih...
Kami berangkat, melalui kantor kecamatan Gamping, ke arah barat melalui sawah-sawah yang masih hijau. Melewati petak tanah yang tertancap baliho ‘Milik Sultan Ground’. Pagi masih dingin, dan jalanan desa di tengah-tengah persawahan ini masih sepi. Ini hari minggu. Banyak orang yang mungkin bangun siang, atau bangun pagi-pagi dan sudah piknik, bahkan pergi. Kami menyusuri rel kereta api, lalu belok kiri menuju jalan wates yang dekat dengan pool Efisiensi. Kemudian belok kanan ke arah barat menuju jalan wates KM 8.
Pagi-pagi begini soto pak Tur sudah penuh pengunjung. Ada beberapa keluarga yang sudah memenuhi meja-meja di warung sempit itu. Kami kebagian meja agak depan dan mendapat pemandangan yang cukup ‘lumayan’. Saya menjawil kaki Bodhol dan memberikan kode mata agar dia melihat ke sebelah kirinya. Bodhol paham maksud saya.
Saya menunggu komentar darinya dengan jurus cocot bodhol yang ia miliki, saya yakin nanti dia pasti memberi komentar perihal keluarga kecil muda ini. Pasangan suami-istri dengan anak kecil yang masih berumur 2 tahunan.
Setelah menghabiskan soto beserta tetek bengeknya; tempe goreng, sate usus, jeroan, perkedel dan teh panas. Kami pulang tapi tak lupa membayar. Kalau lupa paling dikejar, lebih parah dihajar. Tapi kami tak senekat itu. Cuma mau kenyang saja harus kejar-kejaran. Kalau saat saya menjadi kru bis, memang harus kejar-kejaran kalau mau kenyang. Walaupun masih sebatas peluang untuk kenyang, alias penuh penumpang.
Perjalanan pulang menuju kos adalah kebalikan dari perjalanan kami berangkat. Dari jalan wates KM 8 menuju perempatan dekat pool Efisiensi, belok kiri menuju rel, lalu belok kanan menyusuri sawah-sawah dan petak tanah berbaliho ‘Tanah Milik Sultan Ground’.
Saya menunggu komentar Bodhol perihal pasangan muda dengan anak kecil yang digendong itu. Tak juga keluar dari mulutnya. Saya menunggu komentarnya yang kemepyar, seperti orang mencret yang tainya ambyar. Terpaksa harus saya pancing dan saya yang buka omongan.
“koe mau weruh to, pasangan suami-istri karo anak cilik kae mau?”
“iyo, aku weruh” lalu dia melanjutkan “sing wedok masuk, sing lanang remuk!”
“hahahaha” kami tertawa bersama, menyusuri persawahan yang masih hijau itu.
Tiba-tiba dia memutar balik motor yang kami naiki. Meh ngopo cah iki?
“sek, ndes. Tak niliki kaline. Ono iwake ora.”
Saya teringat kalau ternyata kami memang melewati kali. Melewati jembatan kecil yang dibangun dari susunan bis beton. Sungai kecil yang membelah jalan dan menjadi sumber untuk mengairi sawah-sawah yang kami lewati.
“nek koe pengen ngerti ono iwake opo ora, gampang ndes.” Saya menawarkan solusi untuk rasa penasarannya. Dia memang salah seorang pemancing yang gigih walaupun jarang sekali kailnya dimakan ikan. Biar begitu, hampir setiap bulan dia menyisihkan anggaran untuk jajan pancing.
“lha piye carane?” dia menjawab dengan rasa penasaran.
“koe menengo ning kono, tinggal ndelok hasile wae ngko kepiye. Rasah cocotan!” saya menjawab dengan mantap.
Saya turun ke sungai kecil itu, dan mendekati bibir terowongan bis beton.
“Ndes... kae delok ono iwake ora?”
“ASUUUUUUUUUUU!!!!!!” dia terperanjat melihat saya yang sudah jongkok menghadap mulut terowongan dengan bokong yang selaras dengan arah aliran air dan tai yang sudah berhamburan indah menghiasi jernihnya aliran air sungai kecil itu.
Alam semesta benar-benar indah pagi ini... Cuma kurang teh panas dan ikan goreng!
Sudah menjadi kebiasaan kami, setiap sabtu malam atau akrab
disebut malam minggu, merayakan malam yang menurut orang yang punya pasangan
adalah malam bahagia. Bagi kami, ini malam untuk pesta. Ya, sekedar pesta para
Bujang Lapuk. Pesta kecil-kecilan untuk "surungan" menertawakan diri
sendiri.
Kantor travel tempat kami bekerja berada di tengah-tengah komplek
pasar. Setiap malam minggu tiba, kami pasti berpesta. Jangan punya pikiran kami
akan pesta dengan mabuk-mabukan. Pesta kami lebih sangar dari itu. Pesta
Indomie! Makan kenyang, hati riang.
Karena ini pesta, tentu saja Indomie itu kami masak dengan cara
yang luar binasa spesial dan sedikit agak jahat. Iya, jahat.
Kami bertiga, Saya, Dobox, dan Bodhol merupaan tiga pria dengan
tingkat doyan makan yang mumpuni. Tapi, dari kami bertiga hanya satu orang yang
benar-benar tidak suka makan pedas, yaitu Bodhol.
Sebelum kantor tutup, Dobox sudah berbelanja bahan-bahan pesta.
Indomie goreng original, telur, sayur mayur, dan cabai rawit. Bahan terakhir
ini yang kami gunakan untuk 'kejahatan'.
Sambil membawa beberapa kantung kresek, Dobox melenggang masuk,
khas dengan senyum brengseknya. Kalau melihat senyumnya, saya yakin semua orang
akan terkesima dan gemas ingin memukuli mukanya.
"Heh ndes, aku wis belonjo.” Katanya dari seberang lubang
pintu ruang sebelah.
"Yo, Aku weruh."
Dobox terlihat sibuk membereskan bahan-bahan yang sudah dibelinya
di warung-warung kelontong sekitar kantor. Sementara Bodhol masih sibuk bekerja
dengan komputer di depannya. Membuat laporan penjualan bulanan sekaligus
dengan statistik penjualan tiket tiap-tiap maskapai penerbangan, beserta dengan
insentif sekaligus komisi yang diperoleh perusahaan.
Tapi saya merasakan ada yang aneh di ruangan sebelah, ruangan jasa
fotokopi dan penjualan alat-alat tulis tempat Dobox bekerja. Semacam tak ada
kegiatan, setelah tadi ada suara plastik kresek yang dibuka-buka.
Saya menghampirinya, dia terlihat sedang duduk jongkok,
membelakangi saya, dan sibuk melakukan sesuatu. Entah apa itu.
"Koe nyapo, ndes?"
Dobox menoleh dan cuma dibalas cengiran yang nggatheli, dan senyum
geli, sekaligus tertawa yang ditahan. Kalau saya membayangkan senyum Dobox, ingin
sekali saya belajar Muay Thai, agar bisa mendengkul mukanya dengan sempurna.
Saya mendekat karena penasaran. Tahu saya mendekat, dia langsung
memberi kode untuk tutup mulut dengan melintangkan pisau di mulutnya.Ternyata
dia sedang mengiris cabai rawit hijau segar yang cukup banyak.
"Eh... cangkemu menengo ndes. Tak ngiris lombok sik sing
akeh. Ngko tak umpetne. Nek pas masak, ngko ngerajang ning omah sithik wae. Ben
Bodhol ngertine lomboke saithik." Dobox mengatakan itu sambil
berbisik-bisik.
"Jancok...." jawab saya singkat, dan nyengir. Lalu beranjak
menuju meja kerja.
Saya sudah membayangkan apa yang akan terjadi nanti, dan tentu
saja keesokan hari. Ada yang akan menderita malam ini, juga esok pagi hari. Ada
yang bahagia malam ini, juga esok hari. Sudah pasti akan ada yang misuh-misuh
entah malam ini, atau besok pagi. Dan ada yang akan dipisuhi malam ini, atau
besok pagi. Saya, antara ingin ketawa dan mendukung ide jahat Dobox untuk
mengerjai satu orang ini.
Perusahaan menyediakan rumah setengah jadi untuk karyawan.
Walaupun belum jadi seratus persen, di situ sudah disediakan fasilitas dapur,
kamar mandi, dan satu kamar dengan satu unit AC yang bisa mendinginkan tiga bujang
lapuk yang syumuk.
Yang tinggal di situ, hanya Bodhol dan Dobox. Saya masih ngekos.
Khusus hari minggu, saya masuk pagi karena libur kuliah. Daripada harus kembali
ke kos tengah malam, lebih baik menginap di ‘mess’. Lagipula, jika tidur di kos
belum tentu saya bisa bangun pagi. Tapi di mess, sudah pasti Dobox yang lebih
dulu bangun di pagi buta. Secangkir kopi dengan air mendidih dan rokok di
tangan, sudah pasti menemani paginya. Tapi dengan bunyi alarm dua biji telepon
genggam yang suaranya bikin katak-katak di sungai sebelah mess merasa punya
saingan. Berisik!
Rencana Dobox berjalan mulus. Kami bertiga memasak, masing-masing
sudah punya tugas. Saya menyiapkan bahan dan wadah, Dobox yang merajang dan
memasak, Bodhol yang menjadi supervisor, membantu Dobox sekaligus menjadi
pengawas jumlah cabai yang akan dicurahkan demi keamanan mulut dan juga
perutnya. Karena dia tahu, saya dan Dobox adalah penyuka pedas. Jadi dia harus
ekstra hati-hati seandainya Dobox khilaf memasukkan cabai ke dalam wajan.
Dari kami bertiga, Bodhol orang yang paling ahli soal
masak-memasak. Maklum, dia alumni sebuah restoran yang cukup populer di
Bandung. Mulai urusan dapur hingga ‘front liner’, dia sudah khatam.
"Lomboke semene, yo ndes?"
Dobox menyodorkan cabai rawit merah segenggaman tangannya kepada
Bodhol.
"Kakehan kui, ndes! Kurangi! Mangan kok nyikso. Iki ki
mangan, dudu penyiksaan." katanya dengan nada sedikit marah.
"Yo, tak kurangi ndes. Rasah nesu." jawab Dobox dengan
mengurangi jumlah cabai di tangannya.
"Iki delok maaatanem, sing tak rajang semene. Saitik."
kata Dobox dengan logat Bojonegoronya yang kental. Ia merajang cabai dan
memasukkannya ke wajan yang sudah berisi Indomie yang sedang dia goreng. Saya mengamati
pertengkaran mesra dua bujang lapuk ini, tiga termasuk saya. Kisah ini, aktor
utamanya adalah mereka berdua. Saya hanya figuran, dan kadang-kadang menjadi
gong untuk pertengkaran-pertengkaran nggatheli mereka berdua.
Sejak awal mula proses memasak, setelah indomie selesai direbus
dan menuju proses penggorengan, saat Dobox mulai menumis bawang, mengocok
telur, serta memasukkan telur, entah kapan dia memasukkan cabai yang sebelumnya
sudah dia rajang di kantor. Dan itu jumlahnya lumayan. Dia mencampur cabai
rawit hijau, dan merah. Cabai rawit merah yang dirajang tadi hanyalah sebuah
pengalihan untuk menutupi cabai rawit hijau yang menjadi senjata utama. Lalu ditambah
dengan sayur-mayur hijau yang semakin menutupi, memperkeruh, serta menyamarkan keberadaan
cabai rawit hijau itu.
Indomie pujaan kami sudah matang, sudah siap dihidangkan. Kami tak
perlu piring. Kami hanya perlu sendok, keset, dan ruang tamu yang ukurannya
tidak seberapa luas.
Kami duduk lesehan, dengan wajan penuh indomie yang kami kelilingi
bertiga. Melingkar. Semua sudah siap. Masing-masing orang sudah memegang sendok.
“Ayo dimulai, to.” Bodhol
memulai pembicaraan di depan indomie goreng yang masih beruap dan beraroma
menyengat. Dia semacam pemimpin tahlil yang mengajak jama’ah untuk tawassul
lebih dulu.
“Yo ayo to ndes.” Dobox menimpali dengan membenamkan kepala sendok
ke dalam wajan yang penuh indomie itu. Saya menyusul dengan memulai menyendoki
indomie dari pinggiran wajan.
Beberapa suap sudah melewati kerongkongan saya. Mungkin juga
beberapa suap lebih banyak sudah melewati kerongkongan Dobox, bahkan sudah masuk
ke dalam lambung dan usus besarnya. Baru beberapa suap itu pula, Bodhol mengangkat
bicara.
“ASU! Iki mau lomboke piro, ndes?? Pedes tenan, CUK! Mukanya merah,
matanya berkaca-kaca. Wajahnya mengkilap dan berkeringat. Ia berdiri menuju
dapur mengambil minum.
“Lomboke saitik, ndes. Mau matanem yo weruh aku ngerajang lombok sepiro.”
Dobox mencoba meyakinkan Bodhol.
“Halah ndes..ndes.. iki ra patek pedes.” Kata saya membela indomie
“ora pedes, matamu! Ora mungkin nek lombok semono mau pedese koyo
ngene. Iki mesti lomboke luwih akeh. Aku yakin iki. Asu tenan! Cuk!”. Bodhol
kembali dengan air minum, dan sebotol kecap.
Bodhol menuangkan kecap di atas indomie goreng yang ada di ‘wilayah’nya.
Terlihat perjuangannya mengisi perut yang lapar dengan cobaan rasa pedas yang
membakar baginya. Menuangkan kecap, menyendoki indomie berkecap, lalu menyuapkannya
ke dalam mulut. Begitu seterusnya hingga sebotol kecil kecap itu tinggal seperempat.
Saya dan Dobox makan seperti biasa tanpa dosa.
Kami bertiga kenyang, menyerah dengan porsi indomie goreng Godzila.
Indomie dalam wajan itu Dobox kembalikan ke atas kompor. Esok pagi hari,
indomie itu sudah dihangatkan oleh Dobox, dan dibawa ke kantor dan disantap oleh
beberapa teman kantor.
“Mie gorenge enak, mas.” Kata seorang karyawati kantor kepada
saya.
“Yo enak, sing masak Dobox.”
“Wetengku panas, ndes. Asu tenan!” Bodhol menyambar dengan
cocotnya!
Saya cuma bisa nyengir kuda.
Hingga cerita ini ditulis, ‘korban’ belum pernah tahu berapa
jumlah cabai yang masuk ke dalam wajan itu. Termasuk saya. Yang saya tahu,
jumlahnya banyak. Itu saja.